Mohon tunggu...
Sudramono Manihuruk
Sudramono Manihuruk Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menulis akan berhasil ketika ada nilai yang ditinggalkan bagi si pembaca....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat di Malam Natal

26 Oktober 2011   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:29 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="467" caption="Google.com"][/caption]

“Selamat Natal sayang...” Ibu mencium kedua pipiku dan memelukku erat.

Dalam pelukan, Ibu menitikkan air mata. Dalam kebahagiaan Natal kali ini perasaan Ibu seperti bercampur aduk. Aku bisa merasakannya. Aku menyambut pelukan ibu dalam sebuah kehangatan. Aku cinta ibu.

Aku ambil gitar kesayanganku hadiah ulangtahun yang ke – 17. Setiap malam Natal seperti ini aku tidak pernah melewatkan saat – saat indah bernyanyi bersama diantara ornamen – ornamen Natal yang menghiasi ruang keluarga. Ini memang rutin kami lakukan setiap tahunnya. Lagu “O Holy Night” menjadi lagu yang sangat kami nikmati. Aku mainkan gitarnya dan kami bernyanyi dengan membagi suara.

Ada yang hilang dalam lagu yang kami nyanyikan. Tak kudengar lagi harmonisasi yang Indah itu. Lagu itu seperti aneh ditelingaku kali ini. Kami pun saling menatap beberapa saat setelah lagu itu usai kami nyanyikan. Ibu kembali menangis. Dia memelukku erat seperti tidak mau melepaskanku.

Ibu meninggalkanku masih terdiam di kursi sofa hitam itu. Ibu melangkahkan kakinya ke arah lemari tua persis di samping kamar tidurnya. Ibu mengambil sebuah kotak berbungkuskan kertas kado bercorakkan bunga tulip yang sangat aku sukai. Ibu terdiam sebentar. Memandangku.

Perlahan aku buka Kotak yang ibu ambil dari lemari. Tanganku tiba – tiba gemetar dan seperti tidak sanggup melakukannya. Sekali lagi aku pandang wajah ibu yang masih tetap saja menangis.

“Ibu... ini apa?” tanyaku.

“buka saja, nanti kamu pasti tahu.” Jawab ibu masih dalam kesedihannya.

Aku membuka kotak itu dan aku terkejut menemukan sebuah amplop berisikan surat. Aku juga menemukan sebuah gulungan senar gitar di bawah amplop itu. Aku semakin bingung. aku memandang ibu dalam wajah yang masih bertanya – tanya. Aku mulai buka amplopnya dan penasaran dengan isi suratnya.

Selamat Hari Natal sayang. Kamu dan ibumu pasti sangat bahagia malam ini. Ini adalah malam yang selalu ditunggu setiap tahunnya. Aku juga bisa merasakan kebahagiaan kalian berdua. Bagaimana permainan gitarmu malam ini? Pasti luarbiasa, papa sangat bangga sama kamu. Ini pasti tahun yang sangat membahagiakan buat kamu setelah terpilih jadi pemusik tetap di gereja. Tuhan pasti sangat bangga juga denganmu.

Oh iya... kamu dan ibu ga lupa kan nyanyi lagu “O Holy Night” di ruang keluarga? Atau sudah? Pasti sangat menyenangkan.

Dedy... Maafin Papa yah kalau Malam Natal kali ini tidak bisa mengambil suara tenor saat menyanyikan lagu “O Holy Night”. Tapi Papa yakin pasti lagu pujian itu akan tetap terdengar indah. Kamu dan Ibumu kan juga punya suara yang Indah.

Papa juga mau kasih sesuatu buat kamu Ded. Itu ada di kotak. Papa mau kasih Senar Gitar buat kamu. Mungkin ini jadi sebuah hadiah Natal tahun ini buat kamu. Maafin Papa yah kalau Papa pernah mutusin Tali gitarmu dan kamu marah. Aku sangat mengerti kondisimu waktu itu. Itu gitar kesayanganmu dan itu terjadi beberapa jam sebelum audisi di sekolahmu. Maafin Papa baru bisa kasih sekarang.

Ded... Papa sangat sayang kamu. Papa juga sangat sayang sama Ibumu. Kamu janji yah jagain Ibu untuk Papa. Jangan pernah biarkan Ibu menangis.

Sampai disini dulu yah sayang surat Papa. Papa ternyata belum makan obat malam ini. Sekali lagi Papa cuman mau bilang kalau Papa sayang kamu dan Ibumu.

Aku benar – benar tak bisa berkata apa – apa lagi setelah membaca surat dari papa. Ibu memandangku masih dalam raut wajah sedihnya. Ibu memelukku lagi.

Papa bagiku adalah sosok istimewa. Papa sosok yang sangat luar biasa. Dia banyak mengajarkan ke aku arti hidup. Aku banyak belajar darinya. Banyak sekali kenangan yang tak mungkin aku bisa lupakan saat bersama papa. Papa juga yang mengajarkan aku bermain gitar. Bagi Papa Musik adalah hidupnya. Papa bisa memainkan Gitar dan Piano.

Saat aku duduk di kelas satu SMP sekolah mengadakan Pentas Seni. Aku sangat tertarik untuk ikut berpartisipasi. Saat itu panitia mengadakan lomba mencipta lagu. Aku sangat tertarik untuk ikut walaupun sebenarnya aku masih sangat terlalu dini untuk ikut. Saat itu aku masih tergolong baru bermain gitar. Di kursi audisi aku menampilkan lagu ciptaanku. Aku sangat gugup waktu itu terutama saat aku sudah melihat penampilan teman – teman sebelumnya yang luar biasa menurutku. Saat aku tampil tiba – tiba seorang teman tertawa melihat permainan gitarku bahkan salah satu juri mengatakan kalau permainan gitarku sangat biasa. Sedih rasanya hatiku waktu itu. Bahkan sepanjang perjalanan pulang kerumah aku diam dan tak mau bicara. Aku waktu itu marah pada diriku sendiri. aku sangat malu. Aku bahkan sampai membuang gitar yang biasa aku pakai ke tong sampah depan rumah. Tapi, Papa tidak marah. Papa bahkan tidak berkata apapun waktu itu, dia membiarkan aku melampiaskan semua kekesalanku. Sampai akhirnya aku tidak tahu lagi berbuat apa. Aku hanya duduk terdiam di ruang keluarga. Airmata kekesalan masih terus mengalir di wajahku. Papa saat itu masih saja tidak mengeluakan sepatah kata apapun. Aku tertidur di sofa karena kelelahan. Papa menggendongku naik ke lantai atas dan membawaku ke kamar. Sesampai di kamar aku tiba – tiba terbangun.

“Pa... papa mau kemana?” aku seperti tidak mau membiarkan papa meninggalkanku di kamar sendiri.

Papa menoleh dan memandangku. Papa mendekatiku dan mengelus kepalaku.

“Dedy... kamu pasti sangat sedih dengan hasil audisimu hari ini. Papa bisa merasakannya. Papa sengaja membiarkanmu tanpa mencampuri kemarahanmu tadi. Papa menunggu kondisi kamu tenang dulu. Itu akan membuat kamu bisa menerima apa yang akan papa katakan.”

Itu salah satu sifat papa yang aku suka. Papa selalu mengerti kondisiku. Ketika aku atau ibu sedang marah papa selalu mengalah dan membiarkan suasana tenang baru mau bicara.

“Tuhan tidak senang dengan orang sombong. Tuhan tidak mau melihat anaknya sombong. Kamu seharusnya bersyukur mengalami hal ini. Dulu papa juga pernah ada diposisi kamu dan semua berjalan mulus tanpa ada hambatan. Papa menang di setiap lomba yang diadakan sekolah hingga suatu saat aku di utus pihak sekolah ke tingkat provinsi. Papa meraih juara satu. Lalu beberapa hari kemudian aku dihubungi ibu Pendeta dari Gereja untuk ikut bergabung di pelayanan Ibadah. Saat itu papa menolak, papa merasa bermain musik di acara ibadah sangat merendahkan kemampuanku saat itu. Aku sudah menang tingkat provinsi sudah seharusnya aku bergabung ke sebuah Musik Orkestra bukan malah di ibadah gereja. Papa lupa kalau apa yang aku punya waktu itu bukanlah milikku, itu semua adalah milik Tuhan yang kapanpun bisa diambil olehNya. Hingga suatu saat papa kecelakaan dan berbulan – bulan tidak bisa bermain gitar. Menurutku itu lebih menyakitkankan daripada apa yang kamu alami saat ini. Tuhan hanya ingin kamu menikmati proses perjuangan dengan terus berdoa dan berharap padaNya. Itu akan semakin membuatmu menjadi seorang yang rendah hati.”

Malam itu menjadi sebuah titik balik dalam hidupku. Aku benar – benar bersyukur punya papa yang selalu membuatku sanggup bersyukur dalam segala kondisi apapun. Aku menjadi lebih bersemangat lagi untuk belajar memainkan gitar. Dari papa juga aku belajar memahami tentang makna talenta yang ada di dalam diri kita adalah pemberian Tuhan dan seharusnya kitapun memakainya untuk memuliakan Tuhan. Hingga akhirnya kemahiran bermain gitar semakin meningkat dari hari ke hari dan aku mulai bertekad untuk ikut dalam tim pelayanan musik gerejawi.

Suatu ketika mama pernah menegurku karena sering pulang larut. Aku memang sering keasyikan latihan di studio musik teman. Aku punya jadwal rutin minimal 3 kali seminggu. Aku sering menganggap latihan yang banyak akan membuatku menjadi seorang yang hebat. Namun waktu itu mama menegurku dan membuatku sedih. Mama tidak senang aku pulang larut seperti itu karena akan mengganggu jadwal belajarku. Bahkan mama hampir saja melarangku untuk ikut latihan kalau aku masih saja pulang larut seperti itu. Aku memang sering emosi menanggapi semua masalah yang terjadi. Aku kesal dan kecewa terhadap sikap mama saat itu.

“Dedy… kamu pasti sangat menikmati latihan – latihan kamu. Papa bisa melihat dari kegigihan kamu latihan dan bahkan sampai larut seperti ini.” Papa datang ke dalam kamar saat kondisiku mulai stabil.

Papa memandangku agak lama.

“Seorang Pejuang sejati tidak akan pernah melupakan tanggung jawabnya.” Ucap papa tiba – tiba.

Mama knows best… itu satu kalimat yang papa pegang teguh dari dulu, percayalah.”

Hanya beberapa kalimat saja keluar dari mulut papa tapi itu sangat membuatku berubah pikiran untuk akhirnya mau mendengar apa kata – kata mama. Aku menyadari kalau tanggung jawabku saat itu adalah menyelesaikan sekolah dengan prestasi yang baik, belajar dengan baik dan satu hal yang aku terima lagi dari papa adalah tentang ibu. Ibu memang adalah mahluk yang Tuhan hadirkan dalam diri kita yang tahu apa yang terbaik bagi kita.

“Tuhan senang melihatmu melayani Dia dengan tekun, tapi Tuhan tidak senang dengan orang yang tidak setia pada tanggung jawab utamanya dalam hidupnya. Mintalah Hikmat dari Dia.” Itu kalimat yang kudengar sebelum akhirnya papa meninggalkan kamar tidurku.

***

Ibu memberikan sebuah kartu ucapan buatku. ini memang sudah menjadi tradisi dalam keluarga ini untuk menuliskan sebuah permintaan kepada Tuhan di malam Natal. Aku terdiam sejenak hampir kehabisan kata – kata untuk dituliskan di kartu ucapan itu. Dalam beberapa menit akhirnya kami bertukar kartu ucapan untuk di ucapkan dan di doakan. Mama memulai membaca apa yang aku tulis di kartu ucapan itu.

Tuhan… malam natal kali ini aku sangat sedih karena tidak ada kehadiran papa disini. Aku hanya ingin meminta papa kembali lagi seperti dulu. Mungkinkah Tuhan akan mengabulkannya?

Aku memang sangat bingung dengan keadaanku saat itu. Karena kerinduanku yang sangat dalam terhadap papa sampai kata – kata itu aku tuliskan di kartu ucapan itu. Kini giliranku membaca permintaan mama di malam Natal ini.

Tuhan… suamiku tercinta memang tidak ada lagi diantara kami saat ini. Dia secara fisik memang tidak akan mungkin lagi hadir di tempat ini. Aku hanya meminta biarkanlah semangat dan energi positif yang selalu ia hadirkan selama ia hidup tetap kami rasakan setiap hari. Kami memang tidak akan mungkin lagi bisa menari bersama seperti dulu lagi tapi biarkanlah semangat dan energi positif yang ia pancarkan selama ia hidup tetap mengajak kami menari hingga kami bisa tetap merasakan kehadirannya dalam setiap tarian kami. Terimakasih Tuhan telah menghadirkan dia dalam perjalanan hidupku dan anakku tercinta Dedy. Dan harapanku paling besar saat ini adalah Dedy tumbuh menjadi seseorang yang bisa seperti papanya.

Aku menagis membaca tulisan ibu di kartu ucapan. Aku seperti punya semangat baru dan aku seperi merasakan kembali sosok papa dalam diriku. Aku memeluk ibu dan bilang ke ibu kalau aku sangat menyayanginya dan juga papa. Terimakasih Tuhan untuk semua perjalanan hidup yang sangat bermakna ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun