Ketiga, memastikan bahwa proses pemberian reward tidak disadari oleh murid. Bagaimana caranya? Reward diberikan secara klasikal setelah selesai proses pembelajaran. Pemberian reward ini dilakukan secara umum. Artinya apresiasi bisa disebutkan secara umum berdasarkan tingkat pencapaian belajar murid. Penyampaian reward pun dilakukan secara menyeluruh tanpa menyebut satu per satu nama murid. Rasanya hal ini sesuai dengan prinsip keadilan bagi setiap murid.Â
Keempat, membuat kesepakatan kelas terkait pemberian reward pada akhir semester. Mengapa harus di akhir semester? Karena kalau di awal semester secara tidak langsung akan menjadikan reward sebagai motivasi belajar. Namun, jika pada akhir pembelajaran murid akan merasa dihargai. Jika murid sepakat, maka pemberian reward dilakukan. Namun, jika tidak proses pemberian reward pun tidak dilakukan guru. Kesepakatan ini penting untuk menihilkan anggapan pemberian reward ini menjadi satu-satunya motivasi dalam belajar.Â
Kelima, melibatkan murid dalam pemberian reward. Artinya murid diberikan kebebasan memberikan reward berupa apresiasi kepada teman pilihannya. Tentu guru berperan dalam memberikan gambaran terkait kriteria penerima reward. Sekaligus juga memberikan penguatan tentang pentingnya kesadaran intrinsik untuk belajar.Â
Demikian uraian tentang strategi pemberian reward di sekolah. Harapannya upaya ini bisa menjadi alternatif pemberian apresiasi kepada murid dengan tetap berpegangan pada semangat kurikulum merdeka. Hingga pada akhirnya guru penggerak pun tetap bisa memberikan reward pada pencapaian hasil belajar murid.Â
Semoga bermanfaat!Â
Salam Bloger Pengggerak
Sudomo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H