Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) eksklusivitas merupakan proses, cara, perbuatan mengeksklusifkan. Proses, cara atau perbuatan ini biasanya dilakukan dan diperlakukan kepada sesuatu hal yang memiliki kelebihan dibandingkan yang lain. Banyak contoh yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah hunian eksklusif yang dibangun untuk kelompok tertentu. Baik itu berdasarkan tingginya tingkat penghasilan maupun lokasi yang strategis. Contoh lainnya adalah wawancara eksklusif yang dilakukan oleh sekelompok orang terpilih kepada tokoh terkenal.Â
Dalam perkembangannya, predikat ini juga disematkan dalam dunia pendidikan. Hingga muncullah istilah sekolah eksklusif. Sesuai dengan namanya, sekolah ini diperuntukkan bagi kelompok tertentu. Sebagai konsekuensi, sekolah tersebut memastikan memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh warga sekolah. Baik itu pelayanan akademik maupun nonakademik. Sekolah eksklusif biasanya memiliki kebijakan sendiri terkait proses belajar mengajar. Termasuk di dalamnya adalah tentang hari libur. Meskipun demikian sekolah eksklusif pun tidak luput dari pandangan minor pengamat pendidikan. Menurut pandangan pengamat pendidikan, sekolah seperti ini tidak mengakomodir keberagaman yang ada. Ada kesan mengesampingkan semangat inklusif pendidikan.Â
Dalam artikelnya di sebuah media daring, seorang praktisi pendidikan, Dr. Adjat Wiratman menuliskan bahwa saat ini dunia pendidikan sedang dilanda kurikulum eksklusif. Sebuah produk kebijakan pendidikan yang dikhususkan bagi sekolah penggerak. Kurikulum tersebut adalah Kurikulum Merdeka. Disebut sebagai kurikulum ekslusif karena memang diperuntukkan bagi sekolah penggerak dan sekolah yang mau menerapkannya secara mandiri.Â
Yang menjadi permasalahan di sini adalah adanya perbedaan perlakuan terhadap sekolah penggerak dengan mandiri. Sekolah penggerak mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dukungan itu berupa penguatan implementasi kurikulum. Baik itu terkait konten kurikulum maupun terkait pengembangan diri tim pelaksana dan yang terlibat dalam implementasi kurikulum. Lalu bagaimana nasib sekolah mandiri? Namanya juga mandiri, mau tidak mau sekolah tersebut harus belajar dan mengikuti pelatihan secara mandiri untuk bisa menerapkan kurikulum. Meskipun ada pilihan mandiri belajar, berubah, dan berbagi sesuai kesiapan sekolah, belum menjadi jaminan optimalnya penerapan kurikulum.Â
Terlebih tidak adanya dukungan dana dan pengembangan diri secara rutin bagi aktor di sekolah mandiri membuat penerapannya perlu ditinjau ulang secara berkala. Hal ini penting guna menjamin bahwa Kurikulum Merdeka terlaksana dengan baik dan berdampak pada murid. Artinya penerapannya tidak hanya sekadar mengikuti tren kekinian atau agar dianggap 'eksklusif'. Tentu hal ini akan jauh dari cita-cita kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk memajukan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah yang mandiri menerapkan kurikulum merdeka ini harus benar-benar konsisten dan komitmen untuk melaksanakannya. Tidak adanya dukungan dana dan pengembangan diri bukanlah alasan untuk tidak terus berbenah diri. Sebisa mungkin sekolah mandiri menerapkan kurikulum merdeka ini dengan memanfaatkan aset sumber daya yang ada. Termasuk guru penggerak di sekolah sebagai salah satu aset sumber daya manusia.
Guru penggerak sendiri saat ini telah memiliki kemampuan dalam kepemimpinan pembelajaran. Artinya bahwa guru penggerak sudah seharusnya mampu menjadi aktor perubahan pendidikan di sekolahnya. Sebagai salah satu aktor perubahan pendidikan, terkadang ada oknum yang merasa dirinya 'berbeda' dengan guru biasa. Hal ini terlihat dari perubahan sikap yang dialaminya. Ada oknum guru penggerak yang merasa diri 'lebih' dibandingkan dengan guru biasa di sekolahnya. Hal tersebut yang pada akhirnya mendorong tumbuhnya eksklusivitas guru penggerak. Sebuah proses yang dilakukan oleh guru penggerak dalam mengelompokkan dirinya hanya dengan sesama guru penggerak lainnya. Hal ini didasari karena menurutnya diskusi akan lebih nyambung karena sama-sama menganggap diri memiliki 'kelebihan'.
Kelebihan tersebut pun dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam artian ada saja seorang guru penggerak yang enggan berkolaborasi dengan rekan sejawat. Ada juga tipe guru penggerak yang ilmunya hanya untuk dirinya sendiri. Sosok tersebut enggan berbagi banyak hal kepada rekan sejawat di sekolah. Bahkan ada juga sosok guru penggerak yang sangat aktif berbagi di luar sampai lupa kalau ada sejawat di sekolah yang membutuhkan asupan ilmu. Kondisi seperti ini pun memunculkan beragam komentar dan pertanyaan. Bukan saja terkait kiprah guru penggerak di sekolah, melainkan juga ekslusivitasnya. Tentu hal ini melenceng dari cita-cita awal dicetuskannya Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP). Padahal sejatinya guru penggerak juga guru biasa yang mendapatkan kesempatan pertama mempelajari perubahan paradigma pendidikan. Bedanya bukan terletak pada kompetensi, melainkan pada kesempatan yang dimiliki.
Jadi, wajar rasanya jika ada yang sampai mempertanyakan tentang guru penggerak yang menganggap dirinya lebih ekslusif dibanding guru biasa lainnya. Bagaimana tanggapan Anda tentang eksklusivitas guru penggerak ini?
Salam Bloger Penggerak
Sudomo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H