[caption id="attachment_405306" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi, Pasangan lansia (Shutterstock)"][/caption]
Kali ini saya akan bercerita tentang salah satu kasus mediasi yang saya tangani hari ini, 25 Maret 2015. Datang ke ruang saya sepasangan suami istri lanjut usia yang ingin bercerai untuk kali yang  ketiga. Awalnya saya kaget namun saya tahan perasaan saya dengan meminta mereka bercerita kronologi kisah rumah tangga mereka. Saya sangat menyayangkan mereka harus menghadapi masalah keluarga untuk yang kesekian kali.
Dari uraian yang saya tangkap, sang suami, sebut saja Adang, sudah berusia 71 tahun dan sudah pernah menikah dua kali. Kedua isterinya sudah meninggal. Â Adapun isterinya, anggap saja Dewi, berusia 54 tahun dan sudah pernah bercerai dua kali di pengadilan. Mereka ternyata baru menikah sembilan bulan yang lalu. Sayangnya, keduanya belum pernah tinggal satu kamar meskipun mereka bertetangga. Otomatis, mereka tidak pernah berhubungan layaknya suami isteri. Oleh sebab itu, Adang mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama Kab Malang di Kepanjen.
Awalnya, Adang tidak terlalu tertarik kepada Dewi. Ia bahkan sudah memiliki wanita yang menjadi calon istri ketiganya. Ia sudah hampir menikahi perempuan itu. Namun, karena Dewi yang tinggal dekat dengan rumahnya sering memberikan perhatian dari mendorong Adang untuk menikahinya, maka Adang memutus hubungan dengan perempuan itu dan menikah dengan Dewi. Untuk biaya pengurusan pernikahannya, Adang yang pekerjaan sehari-hari sebagai buruh tani dipinjami oleh Dewi yang bekerja sebagai penjual kain. Pinjaman ini baru dilunasi Adang satu hari sebelum sidang pengadilan agama Kepanjen digelar.
Sebagai mediator, saya menyarankan agar mereka rukun kembali. Saya memberikan usulan agar mereka segera introspeksi diri atas masalah yang mereka hadapi. Jika dilihat dari kebutuhan biologis, mereka masih sama-sama menginginkan untuk saling bermesraan. Namun, karena sekian lama tidak ada kontak fisik, Adang sudah tidak punya keinginan lagi mendekati Dewi. Padahal, Dewi siap melayani Adang kapan pun. Adang sangat kesal karena Dewi selalu membawa keponakannya yang baru duduk di kelas II SD tidur bersamanya. Kontak fisik pun sangat jarang mereka lakukan.  Jangankan bermesraan, sekedar jabat tangan pun tidak mereka lakukan. Oleh sebab itu, saya sempat memegang tangan mereka, juga meminta mereka berpelukan layaknya suami isteri. Mereka  mau melakukan walaupun sepertinya hambar tidak bermakna. Akhirnya, mereka pun sepakat untuk melanjutkan perkaranya ke sidang selanjutnya dan ingin berpisah secara baik-baik.
Apa hikmah dari peristiwa ini? Saya mendapat pelajaran berharga bahwa kedekatan fisik antara suami isteri merupakan salah satu kunci kebahagiaan rumah tangga. Apapun alasannya, baik kesibukan, kelelahan, atau usia, tidak boleh menyebabkan renggangnya hubungan. Kontak fisik, seperti jabat tangan, gandeng tangan, dan pelukan, adalah sarana untuk mendekatkan emosi antara kedua belah pihak.
Bahkan, ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa kontak fisik suami istri dalam bentuk apapun dapat memperpanjang usia. Menikah bukan hanya sekedar status, namun di sana ada hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya kontak fisik. Sangatlah tidak menarik ketika status pernikahan hanya sebagai tameng bahwa seseorang sudah terikat dengan seseorang walaupun usia sudah senja. Pernikahan adalah hubungan suci yang seharusnya dibina agar tetap merekah ikatan cinta yang telah ditahbiskan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita yang ingin melanggengkan hubungan kita dengan pasangan satu jiwa. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H