Mohon tunggu...
Sudirman Hasan
Sudirman Hasan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Asli Jombang dan kini mengabdikan diri di sebuah lembaga pendidikan di Malang. "Dengan menulis, aku ada. Dengan tulisan, aku ingin hidup seribu tahun lagi..."

Selanjutnya

Tutup

Money

Perjuangan "Mengabadikan" Harta Umat Melalui Wakaf Uang di Bank Syariah

7 Januari 2011   21:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  [caption id="attachment_83883" align="alignleft" width="300" caption="Peluncuran Wakaf Uang oleh Presiden (www.bwi.ir.id)"][/caption] Genap setahun yang lalu, 8 Januari 2010, Presiden SBY mencanangkan Gerakan Wakaf Uang Nasional di Istana Negara. Pada kesempatan itu, beliau menyerahkan wakaf uang sebesar Rp 100 juta kepada ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) secara simbolis dalam sebuah acara seremonial. BWI merupakan lembaga resmi bentukan pemerintah yang bertugas menangani wakaf tingkat nasional dan internasional. Disaksikan oleh para menteri, “amal jariyah” presiden tersebut diharapkan akan dicontoh oleh para pembantunya dan segenap bangsa Indonesia. Sungguh mujarab, tak lama kemudian, beberapa menteri mengikuti jejak kepala negara itu untuk mewakafkan sebagian harta mereka. Dana tersebut akhirnya digunakan sebagai dana awal wakaf uang BWI. Adapun tempat penyimpanan harta “abadi” umat itu wajib di bank yang  berlabel “syariah."         Saya termasuk beruntung bisa mengenal dekat dengan ketua BWI, Prof Tolchah Hasan. Maklum, beliau adalah dosen kami dalam mata kuliah Wakaf Kontemporer di IAIN Walisongo Semarang, khususnya pada awal tahun 2010. Beliau merupakan salah satu orang yang paling tahu perkembangan wakaf uang di Indonesia dan paling paham bank syariah mana saja yang sudah menjalin kerjasama dengan BWI. Dalam setiap pertemuan kuliah yang berlangsung selama satu semester itu, beliau selalu menceritakan perkembangan mutakhir wakaf di Indonesia, mulai dari sengketa wakaf di berbagai daerah hingga rencana investasi wakaf uang yang sudah mencapai ratusan juta rupiah. Tentunya, saat ini dapat dibayangkan betapa banyak dana yang bergulir ke lumbung wakaf tersebut. 

 Dalam sebuah ceramahnya, prof Tolchah menegaskan bahwa wakaf uang hanya boleh dikelola oleh Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. LKS-PWU yang ditunjuk berdasarkan  Keputusan Menteri Agama  Nomor 4 Tahun 2009 sementara ini berjumlah 5 buah, yakni Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah. Dalam waktu dekat, bank-bank sejenis yang berlabel syariah pun akan memiliki kesempatan serupa setelah melalui mekanisme tertentu.

BWI sekarang ini memiliki dua rekening khusus di setiap LKS-PWU, yakni satu “rekening tampung” wakaf uang dan satu “rekening hasil” pengelolaan wakaf uang. Alasan dibukanya dua rekening yang berbeda tersebut adalah karena dalam aturan wakaf uang, dana yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat adalah dana bagi hasil dari pengelolaan wakaf uang. Ini berarti dana yang berada dalam rekening tampung wakaf harus dijaga kelestariannya dan tidak boleh berkurang walau satu rupiah pun. Dana ini hanya dapat digunakan sebagai modal, misalnya untuk investasi dalam produk perbankan syariah, seperti mudharabah dan murabahah. Dengan kata lain, dana wakaf uang harus tetap “abadi” sebagaimana karakter dasar wakaf. Adapun dana dalam rekening hasil pengelolaan bisa digunakan untuk keperluan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat kurang mampu tanpa dibatasi oleh pertimbangan suku, ras, atau bahkan agama. Inilah indahnya wakaf uang!

[caption id="attachment_83884" align="alignright" width="270" caption="eL-Zawa: Tempat Pengabdian"]

1294438677562959882
1294438677562959882
[/caption]

Sejak tahun 2009, saya ditunjuk oleh pimpinan UIN Malang untuk mengelola lembaga filantropi kampus yang bernama “eL-Zawa.” Salah satu program unggulan kami tahun 2010 yang lalu adalah pembumian wakaf uang di lingkungan universitas sebagai respon langsung dari gerakan wakaf uang yang diresmikan presiden di awal tahun. Kami giat melakukan sosialisasi di kampus mengingat betapa banyaknya manfaat wakaf uang bagi umat, baik bagi donatur wakaf (wakif) maupun bagi mustahiq wakaf (mauquf alaih). Bagi wakif, mereka dapat mengabadikan harta kapan pun dan di mana pun dengan jumlah sekecil apa pun. Ini artinya mereka bisa menyerahkan wakaf uang walaupun hanya seribu rupiah.  Dengan wakaf uang seribu itu, mereka akan mendapatkan “aliran pahala abadi” sepanjang uang tersebut dijaga kelestariannya oleh sang pengelola wakaf meskipun sang wakif sudah meninggal dunia. Bagi mustahiq wakaf, mereka akan banyak mendapatkan manfaat dari hasil perputaran uang tersebut, khususnya setelah dikelola oleh bank syariah. Luar biasa, bukan?

Pada bulan Maret 2010, saya dan kawan-kawan eL-Zawa menyelenggarakan pelatihan wakaf uang yang diikuti oleh perwakilan dosen setiap fakultas. Kami mengundang pembicara yang ahli di bidang wakaf uang dan perbankan syariah. Klop sudah keinginan kami untuk mengembangkan wakaf uang dengan antusiasme peserta pelatihan tersebut. Alhasil, di akhir acara, banyak peserta yang berminat mendaftarkan diri sebagai donatur wakaf uang melalui pemotongan gaji. Memang jumlahnya tidak terlalu besar tetapi suatu saat dapat dipastikan jumlah wakaf uang itu akan menggunung. Saya hampir tidak percaya bahwa “provokasi” kami telah sukses menyentuh kalbu para akademisi tersebut.

Keesokan harinya, berbekal dana yang kami terima dan motivasi tinggi memperjuangkan wakaf uang, saya mendatangi bank syariah terdekat yang berlokasi di Jalan Kawi kota Malang. Saya berharap pada hari itu juga kami bisa langsung membuka dua rekening yang persis sama dengan rekening yang dimiliki BWI, yakni rekening tampung dan rekening hasil. Saat bertemu dengan petugas customer service, saya disambut dengan ramah. 

“Apa yang bisa kami bantu?” sapanya sambil menyilakan duduk. “Mbak, saya rencananya akan membuka rekening untuk wakaf uang,” kata saya to the point. Lalu saya jelaskan bahwa seperti semangat yang diusung BWI, kami ingin membuka dua rekening untuk pengelolaan wakaf uang. Nantinya, dana bagi hasil dari bank akan kami gunakan untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi putra-putri karyawan tidak tetap UIN Malang yang gajinya pas-pasan. Tetapi apa yang terjadi? “Kalau membuka rekening biasa, kami bisa membantu. Tetapi kalau rekening khusus wakaf uang seperti BWI, kami belum bisa melayani,” tuturnya datar. Selanjutnya, ia mengatakan apabila saya mau membuka dua rekening biasa, masing-masing akan dikenakan biaya administrasi setiap bulannya. Lalu proses pemindahan dana bagi hasil dari rekening tampung ke rekening hasil tidak bisa dilakukan secara otomatis seperti milik BWI. Saya pun agak terkejut dan sedikit keheranan mendengar penjelasan sang petugas itu. Mengapa menjadi rumit begini? Bukankah menurut Prof Tolchah kita bisa membuka rekening bank syariah di mana saja dan secara otomatis bagi hasilnya akan masuk ke rekening hasil? Karena saya tidak yakin dengan jenis rekening yang ditawarkan pihak bank tersebut, saya batal membuka rekening.

Sepanjang perjalanan pulang saya merenung. Apa yang salah dengan wakaf uang dan apa yang salah dengan bank syariah? Bukankah bank yang baru saja saya kunjungi termasuk bank yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKS-PWU? Apa karena saya membukanya di Malang, sebuah kota yang jauh dari pusat pemerintahan? Suasana hati yang berkecamuk itu membuat saya berpikir keras mencari alternatif penyelesaian. Mungkin saya harus membuka rekening bank syariah di Jakarta. Kebetulan, seminggu kemudian saya mendapat tugas dari rektor untuk berkunjung ke Kantor Pusat Departemen Agama (sekarang menjadi Kementerian Agama) di jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Saya bertekad untuk mendatangi salah satu bank syariah di sana dan berharap apa yang dilakukan oleh BWI dapat diterapkan juga di lembaga saya. 

Pada hari yang telah ditentukan, saya berangkat ke Jakarta dengan perasaan harap-harap cemas. Jangan-jangan bank di sana juga akan memberikan jawaban yang sama. Meskipun begitu, saya berdoa semoga masih ada solusi yang menyenangkan sehingga saya bisa menjalankan amanah dari para wakif yang sudah terlanjur daftar sebagai donatur. Sayang sekali rasanya kalau semangat mereka yang sedang berkobar itu hancur luluh berantakan karena manajemen kami yang belum siap. 

Sesampai di kantor Departemen Agama, saya selesaikan semua urusan kampus di lantai 6 dan 8 dengan cepat. Setelah itu, saya melanjutkan misi kedua saya untuk membuka rekening wakaf. Kali ini, institusi bank yang saya kunjungi berbeda dengan institusi bank yang ada di Malang. Seperti biasa, saya menemui petugas pelayanan pelanggan yang posisinya berada di sebelah counter teller. Saya disambut dengan hangat, khas bank syariah. Untuk poin ini saya selalu merasa tersanjung dan bangga menjadi bagian dari umat Islam. Nuansa persaudaraan dan persahabatan begitu kental. Kemudian, saya coba bertanya basa-basi tentang isu wakaf uang yang pernah di-launching BWI bersama presiden beberapa waktu lalu. Dengan sigap sang petugas menjelaskan secara gamblang bahwa program tersebut merupakan salah satu produk baru dari bank itu. Beberapa brosur tentang wakaf uang pun ditunjukkan kepada saya. Wah, saya nampaknya mendapat pelayanan lebih baik dan berharap apa yang saya inginkan dapat tercapai. 

Tatkala saya utarakan niat utama saya bahwa saya ingin membuka rekening wakaf seperti yang dimiliki BWI, raut muka petugas berubah dengan ekspresi sedikit bingung. Ia kelihatan kurang yakin apakah banknya mempunyai layanan seperti yang saya maksudkan. Ia pun meminta waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan pimpinannya agar tidak salah memberikan informasi. Dengan sabar saya menunggu. Tak lama kemudian, petugas itu kembali ke mejanya. Sambil tersenyum ia berujar, “Maaf, Pak, menurut keterangan dari pimpinan kami, kami belum bisa memberikan pelayanan rekening khusus wakaf uang. Solusi yang bisa kami sarankan adalah Bapak menyetorkan wakaf uang ke rekening BWI melalui kami atau Bapak bisa membuka dua rekening seperti mereka tetapi jenis rekeningnya adalah rekening umum yang akan dikenakan biaya administrasi. Soal transfer dana bagi hasil setiap bulan, kami bisa membantu untuk mendebetkan secara otomatis namun harus ada surat perjanjian terlebih dahulu.” Aduh, ternyata sama juga, saya tetap tidak bisa membuat rekening wakaf uang seperti milik BWI. Tetapi, tawaran solusi berupa transfer otomatis tanpa biaya asalkan ada surat penjanjian nampaknya bagus juga untuk dipertimbangkan. Berhubung saya harus membahas terlebih dahulu dengan kawan-kawan di Malang tentang hasil survei ini, saya pun pamit dan mengucapkan terima kasih kepada petugas yang sudah dengan sepenuh hati berusaha memberikan penyelesaian terbaik untuk masalah saya.  

Sejujurnya, di satu sisi saya puas bahwa saya sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuka rekening di bank syariah, namun di sisi lain saya patut kecewa karena saya belum berhasil mendapatkan rekening wakaf uang. Untuk mengobati rasa penasaran saya, selagi berada di Jakarta dan mumpung masih ada waktu, saya memutuskan untuk meluncur menuju kantor BWI Pusat di wilayah Pondok Gede, Jakarta Timur. Saya tidak peduli dengan panas terik ibukota yang menyengat, arus lalu lintas yang padat, dan pakaian yang mulai basah terkena cucuran keringat. Bagi saya, ini adalah sebentuk perjuangan yang bermuatan ibadah. Tujuan saya hanya satu, yaitu konfirmasi tentang mekanisme pengelolaan wakaf uang khususnya bagi non-BWI. Saya ingin menanyakan prosedur membuka rekening di bank syariah seperti mereka. Saya tidak mau pulang ke Malang dengan tangan hampa, minimal saya mendapatkan informasi akurat dan mantap sehingga saya menjadi lebih yakin tentang langkah lembaga saya ke depan dalam pengelolaan wakaf uang.

Ketika sampai di kantor BWI, saya bersyukur bisa langsung menemui sekretaris BWI, Mas Cholil Nafis, yang kebetulan pernah kuliah bareng di UIN Jakarta. Saya pun memberondong dia dengan pertanyaan seputar pengelolaan wakaf uang di BWI. Lebih khusus lagi, saya memintanya untuk memberikan kiat-kiat jitu agar saya bisa mempunyai rekening wakaf uang seperti BWI. Sambil mengumbar senyum simpul, doktor lulusan Malaysia itu bertutur, ”Begini, Mas. Soal rekening wakaf uang BWI di lima bank syariah dan adanya dua rekening  khusus yang berfungsi sebagai rekening tampung dan rekening hasil, semua itu dicapai setelah disepakatinya MoU antara BWI dan bank syariah. Sementara ini, BWI memang merekomendasikan ke bank-bank syariah mitra tersebut untuk tidak melayani rekening wakaf uang. Alasannya adalah bahwa saat ini BWI merupakan satu-satunya lembaga yang sah mengelola wakaf uang. Ini bukan bermaksud memonopoli, lho! Nanti seiring dengan waktu, BWI akan melakukan sosialisasi pengelolaan wakaf uang di seluruh Indonesia, termasuk Jawa Timur. Barulah kemudian BWI akan memberikan  sinyal hijau kepada bank syariah LKS-PWU untuk memberikan layanan khusus berupa produk tabungan wakaf uang kepada masyarakat luas.”

Mendengar keterangan Mas Nafis tersebut, saya seperti tersedak tak bisa mengucap sepatah kata pun dalam beberapa menit. Saya jadi merasa bersalah dan agak malu karena terlalu bersemangat mendorong kawan-kawan saya untuk berwakaf. Kenapa tidak dari dulu saya berkonsultasi tentang hal-hal teknis ke BWI? Dalam hati, saya tertawa geli mengingat kegagalan saya membuka rekening wakaf di bank syariah. Saya sadar bahwa pihak bank syariah sudah memberikan layanan prosedural terbaik. Pengalaman saya selama ini yang tidak mendapatkan layanan membuka rekening wakaf uang bukanlah kesalahan bank. Hal ini didasarkan pada kesepakatan BWI dengan LKS-PWU bahwa untuk sementara waktu lembaga yang berhak membuka rekening wakaf uang hanya BWI.

Saya kembali ke Malang dengan perasaan lega. Walaupun saya tidak berhasil membuka rekening wakaf uang di Jakarta, setidaknya saya menjadi lebih tahu tentang mekanisme wakaf uang dan cara membuka rekening wakaf di bank syariah. Akhirnya, ketika saya menyampaikan hasil penjelajahan saya kepada teman-teman dalam forum rapat eL-Zawa, kami memutuskan untuk terus melanjutkan gerakan wakaf uang di kampus. Uang wakaf yang terkumpul akan kami simpan di salah satu bank syariah di Malang dalam satu rekening tampung saja. Hal ini kami lakukan untuk menghindari dobel biaya administrasi bulanan. Nantinya, kami akan menghitung sendiri  jumlah wakaf uang yang masuk dan jumlah bagi hasil setiap bulan dalam pembukuan kami. Suatu saat kelak, ketika wakaf uang sudah terakumulasi dalam jumlah besar, kami akan membuka rekening baru untuk menampung secara khusus hasil pengelolaan wakaf.       Alhamdulillah, akhirnya kami bisa menyelesaikan masalah kami dengan baik setelah berkonsultasi, berkoordinasi, dan bekerja sama secara simultan dengan BWI dan bank syariah. Semoga semangat kami melayani umat--terutama civitas akademika UIN Malang--dalam berwakaf uang, dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi kawan-kawan yang berminat untuk berjuang di bidang serupa. Amin.

 

 Catatan: Tulisan ini juga dipublikasikan di http://sudirmansetiono.blogspot.com/2011/01/perjuangan-mengabadikan-harta-umat.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun