Satu lagi berita hangat yang sedang santer dibicarakan oleh Media Amerika, yakni kisah asmara Hugh Hefner dengan Crystal Harris. Pendiri sekaligus CEO Majalah Dewasa Playboy baru saja meresmikan hubungan cintanya dalam bentuk cincin pertunangan yang disematkan pada tanggal 24 Desember 2010. Efek dari pertunangan itu, banyak orang berkomentar macam-macam. Sebagian mengatakan bahwa Hefner adalah lelaki sejati yang tulus mencintai Harris, si  Playmate Playboy itu. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, 84 tahun, ia tidak segan-segan melamar perempuan yang lebih layak menjadi cucunya. Harris saat ini masih berusia 24 tahun. Bagi sebagian yang lain, mereka tak segan-segan mencemooh perilaku "aneh" Hefner yang hanya mencari sensasi. Perlu diketahui, Hefner baru saja mencerai istrinya Kimberley Komrad awal 2010 setelah 11 tahun berumah tangga. Sebelumnya, ia menduda selama lebih dari 30 tahun setelah bercerai dengan istri pertamanya, Mildred Williams, tahun 1959. Apa yang bisa pelajari dari kisah unik ini? Setiap orang boleh memandang dari arah sudut yang berbeda. Pada kesempatan ini, saya ingin melihatnya dari sisi etika berumah tangga.  Hampir semua orang tahu apa arti cinta dan pernah merasakan betapa cinta sering mengalahkan pertimbangan akal sehat. Pertunangan Hefner-Harris bagi publik umum dianggap tidak wajar. Motivasi ikatan itu nampak bukan semata karena cinta, tetapi karena Hefner adalah orang kaya yang berlimang harta sehingga banyak perempuan cantik nan muda berkenan dipinangnya. Siapa sih yang tidak ingin hidup kaya raya? Dengan menerima tawaran menikah itu, kehidupan glamour Harris sudah pasti akan terpenuhi. Ia mungkin tidak akan mendapatkan "nafkah batin" secara maksimal dari Hefner yang tergolong berusia uzur, tetapi ia bisa mendapatkan "layanan itu" dari pria lain yang bisa ia tundukkan dengan hartanya. Oleh sebab itu, apa pun perilaku mesra yang diekspos oleh media massa tidak lain hanyalah "lipstick" untuk menutupi keinginan sesungguhnya. Meskipun begitu, orang Amerika hanya bisa bersuara tetapi tidak bisa mengganggu hubungan mereka. Hak asasi benar-benar menjadi tameng bagi orang-orang yang mau berbuat "nyleneh." Kedua, kehidupan bebas Amerika memberikan keleluasaan seseorang untuk melakukan apa saja sepanjang tidak merugikan orang lain. Hidup bersama tanpa pernikahan adalah hal yang biasa. Ganti-ganti  teman kencan juga dianggap hal yang lumrah. Saat ini kita bisa menyaksikan betapa banyak pasangan selebritis yang menikmati gaya hidup semacam ini. Mereka tak ingin melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan karena surat kontrak pernikahan itu bisa menggerogoti hartanya. Mereka lebih  suka hidup "sendiri" di siang hari dan "bersama" di malam hari. Toh, apa yang ia inginkan dari sebuah "hubungan lawan jenis" sudah terpenuhi dengan cara itu. Inilah liberalnya kehidupan di negara sekuler ini. Ngeri sekali bukan? Hiiii.... Kalau peristiwa di atas terjadi di Indonesia, saya yakin akan banyak pihak yang turun tangan untuk mengurusinya. Bahkan, presiden atau menteri bisa ikut terlibat dalam masalah pribadi ini.  Masih ingat poligami Aa' Gym? Pernikahan kedua dai kondang itu sempat menbuat presiden dan menteri pemberdayaan perempuan mengadakan pertemuan khusus untuk menyikapi hal itu. Kini, ketika Aa' dikabarkan menceraikan istri pertamanya, masyarakat kita kembali heboh. Juga, pernikahan resmi Syeikh Puji dengan Ulfa dulu cukup menyita perhatian masyarakat luas. Saya kira, di sinilah letak perbedaan dasar antara publik Amerika dan Indonesia. Meskipun kedua negara besar itu sama-sama "sekuler", dalam artian tidak menjadikan agama sebagai landasan negara, tetapi kebebasan berekspresinya berbeda. Kalau orang Amerika bisa berbuat apa saja asal tidak melanggar hak orang lain, apalagi dikuatkan dengan kebijakan "don't ask, don't tell"nya, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya bisa menerima budaya itu. Kita bisa dikatakan sebagai masyarakat komunal yang satu sama lain masih saling berkait-berkelindan sehingga urusan yang semestinya menjadi wilayah privat tiba-tiba berubah menjadi wilayah publik. Hal ini mungkin ada baiknya karena kontrol publik masih sedemikian kental. Agama masih sedemikian kuat pengaruhnya. Kita berharap semoga masyarakat kita kian dewasa dan taat menjalankan agamanya sehingga kedamaian akan bisa terus terwujud di bumi nusantara. Bagi yang mau hidup sesuka hati, migrasi saja ke Amerika...selesai.....Soal dosa ditanggung sendiri ya....hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H