Mohon tunggu...
Sudirman Hasan
Sudirman Hasan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Asli Jombang dan kini mengabdikan diri di sebuah lembaga pendidikan di Malang. "Dengan menulis, aku ada. Dengan tulisan, aku ingin hidup seribu tahun lagi..."

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tips Kurangi Beban Pikiran

8 Februari 2015   22:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:35 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hidup ini selalu memberikan tantangan. Masalah yang kita hadapi senantiasa memberikan warna hari tersendiri. Perubahan masa seakan mewajibkan kita untuk selalu siap siaga bergulat dengan segenap problematika. Terkadang  terbersit dalam hati, kuatkah kita melalui rintangan demi rintangan yang tak berujung? Haruskah kita bertahan dalam situasi yang menyesakkan? Atau segera saja kita mengambil jalan pintas dengan pasrah dan putus asa?

Menjadi juara memang tidak mudah walau kebanyakan orang menginginkannya.  Kita cenderung lebih senang dengan cara instan untuk menyelesaikan masalah dan ingin segera lari dari situasi yang kurang menyenangkan. Meratapi nasib adalah sikap umum yang biasa dilakukan. “Mengapa aku harus mengalami ini?” “Mengapa Tuhan setega ini padaku?” atau “Tuhan, aku sudah nggak kuat” adalah pernyataan yang lazim keluar dari mulut orang-orang yang kehilangan harapan. Beban pikiran yang terasa berat sepertinya menghapus berbagai kenikmatan yang sejatinya masih dirasakan. Semua karunia Tuhan yang masih mengalir seolah-olah sirna dengan cara berpikir pendek yang negatif ini.

Bagaimana kita bisa mengurangi perilaku yang merugikan ini? Ada beberapa tips yang bisa kita gunakan sebagai senjata ampuh mengatasi masalah ini.

Pertama, konsisten bersyukur. Syukur atau rasa terima kasih sangat mujarab untuk mengobati hati yang terluka. Perasaan terbuang atau tersiksa sering muncul tatkala kita merasa lebih rendah atau lebih hina dari orang lain. Hati serasa tercabik, muka serasa dicampakkan, dan jiwa seakan tak berguna dapat dinetralisasi dengan melihat kehidupan ini secara lebih utuh dan adil. Jika kita merasa hina, apakah di sana tak ada orang lain yang lebih merana ketimbang kita? Jika merasa paling “apes”, apakah tidak ada lagi nikmat yang masih kita terima? Bila kita gagal meraih mimpi, apakah hanya kita di dunia ini yang gigit jari? Ternyata jawabannya adalah kita masih beruntung. Sejumlah kenikmatan dan karunia masih bersama kita. Tubuh yang lengkap, indera yang sempurna, darah masih mendesir, udara masih segar ke paru-paru,  dan nyawa masih bersemayam adalah sekian nikmat yang sangat mahal. Kita harus menyadari bahwa rasa terima kasih kepada Tuhan akan menumbuhkan rasa percaya diri bahwa tuhan masih sayang dan selalu bersama kita.

Kedua, dunia terus berputar. Kesadaran bahwa hidup ini ibarat roda yang terus berputar akan mendorong kita untuk tetap semangat menyongsong matahari di keesokan hari. Setiap matahari tenggelam, kegelapan akan merayap. Kesan sunyi dan seram sering muncul sepanjang lama. Namun, keyakinan bahwa sinar esok masih ada akan membuat seseorang untuk selalu optimis bahwa masa-masa suram akan segera berganti dengan masa-masa jaya. Bendera kemenangan akan segera dikibarkan. Nah, ketika saat kesuksesan datang, seseorang yang sadar perputaran dunia akan selalu waspada bahwa hidupnya tak akan selalu lurus dan mulus. Goncangan dan dinamika hidup akan selalu pasang surut. Oleh karenanya, ia akan selalu siap siaga ketika situasi berubah sewaktu-waktu di luar kendalinya dan ia akan selalu rendah hati.

Ketiga, kesadaran robbani. Ini adalah kunci utama seseorang untuk sukses. Mengapa demikian? Manusia itu sangat terbatas pengalaman dan ruang geraknya. Ia hanya hadir pada masa tertentu dan akan berakhir pada waktu tertentu pula. Ia tak akan sukses selamanya atau susah sepanjang masa. Ia pun tak kuasa untuk menahan laju ujung usia yang akan menjemputnya. Kesadaran ini akan membuatnya selalu bersandar dan bergantung kepada sang pemilik kehidupan. Ia berserah diri secara total dan meminta perlidungan kepada-Nya. Ia selalu khusyuk dalam ibadah di kala suka dan selalu tersenyum sabar di kala duka. Hidupnya sudah digaransikan untuk Tuhannya dan ia bekerja keras untuk selalu mendapatkan cinta-Nya. Kesadaran ini akan menuntunnya untuk selalu di jalan-Nya apapun kondisinya. Inilah puncak kesadaran yang mampu menyeimbangkan hati dan pikiran tatkala beban pikiran mendatanginya. Wa Allah a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun