Kampung? Kampung halaman almarhum kedua orangtuaku. Walau kurang peduli dan tidak dilahirkan di sana namun ada kerinduan untuk mengunjunginya. Rindu ingin cepat sampai rumah, mencicipi masakan bibi ayam kampung panggang dengan serunden, sayur bening, tempe atau oseng-oseng kulit tangkil dengan nasi tumbuk ? Rindu menikmati suasana ruma pagi hari,siang hari, sore hari dan melewati malam hari. Tak kalah seru berinteraksi dengan warga yang umumnya berusia tua sambil ngopi dan makan peganan kecil. Sampai kepada mengamati lingkungan rumah yang saya inapi kiri kanan depan belakang dll.
Barangkali kami mungkin orang satu dari banyak orang yang kurang peduli padaSedikit catatan Kampung itu kami datangi tanggal 22 Desember 2020, suasana perjalanan menuju ke sana di tahun itu dari rumah bisa di tempuh dengan kendaraan pribadi 6-7 jam perjalanan darat dengan menaiki mobil pribadi. Yah, kalau di ukur jarak tempuh kurang lebih 400 kilometer lebih. Secara umum perjalanan pada saat itu kondisi tol Cipali tidak mulus di sana sini banyak rambu-rambu tanda perbaikan jalan, kontur jalan bergelombang dan sangat tidak nyaman. sebelas duabelas jalur Songgom Brebes juga tak kalah rusak jalan bergelombang apalagi sisi kanan ada anak sungai sehingga tanah mudah longsor karena tekanan dan getaran kendaraan yang lewat terutama truk, dan bus. Jalur Bumiayu pun tak luput dari kerusakan dan kemacetan sana sini karena pengecoran jalan. Mau tak mau kendaraan yang melintasi harus bergantian dengan durasi waktu 5-15 menit.
Pada kedatangan kali ini pun masih di Bulan Desember tepatnya 31 Desember 2023-2 Januari 2024. Banyak perbedaan kalau tidak salah sebut adalah perbandingan perjalanan ke Kampung tahun 2020 dengan 2023/2024 adalah pembangunan infrastruktur jalan meningkat. Tol Cikampek mulus, Tol Cipali mulus, keluar Tol Pejagan menuju ke arah timur (songgom, banyumas sampai Kebumen mulus).
Selepas Kota Kebumen menuju arah Kutowinangun ada jalan H. Sarbini dengan ciri khas Gapura dan Pasar Hewan. Sayangnya saat kami memasuki jalan tersebut dan pasar hewan suasanan sedang tidak ada aktivitas alias tutup. Jalanan sisi kiri kanan tahun 2020 sedikit bangunan rumah, sekarang sudah banyak masyarakat mendirikan bangunan sini kiri kanan jalan yang sesungguhnya lahan produktif pertanian. Jalanan hampir tidak ada perubahan tak ada bekas penambahan aspal yg menunjukkan bahwa pembangunan belum menyentuh atau diprioritaskan oleh Pemkab Kebumen. Jika kita lurus ke selatan maka jalan Sarbini tembus ke Jalan Daendels ke timur langsung Kulonprogo dekat Bandara Yogjakarta Internasional Airport (NYIA).
Lantas bagaimana potret sesungguhnya Kampung Halaman alamrhum orangtua ku itu ? Desa Jangli Wetan, Jogopaten Kecamatan Bulus Pesantren : jalana masuk desa belum tersentuh pembangunan. Jalan desa masih sirkil (pasir kerikil), tanaman teh-tehan mendominasi pagar rumah. Pembangunan jalan sisi sawah masih seperti tiga tahun lalu sama saja. Ada lampu jalan tapi kelihatannya hanya sekedar formalitas sebab tidak tahu bagaimana level pencahayaannya saat malam tiba malah dengar-dengar biaya pemasangan hasil urunan warga yang merantau ke kota-kota besar.
Sepanjang jalan menuju deretan bangunan rumah yang dihuni masih sama seperti dulu tidak tersentuh pembangunan. Bangunan rumah dengan tembok luar jarang diplester, atap genteng tidak pakai plafon dan minim aktivitas non pertanian. Penduduk usia muda hampir 90% pergi merantau merubah nasib ke Jakarta, Semarang, Jogjakarta atau Bandung. Tinggallah para penduduk usia tua yang setia bekerja di sektor pertanian yang tidak pasti pendapatan, seorang buruh tani hanya di bayar Rp. 60.000,- sehari.
Rumah orangtua kalau dibandingkan dengan rumah orang perkotaan cukup luas ada sekitar 600 meterpersegi. Sekeliling rumah pagar tanaman teh-tehan, sedikit tanaman singkong, pisang, kelapa, bambu, jambu dan jenis lainnya. Bangunan rumah di bagi tiga bagian ruang utama, dapur dan ruang terbuka langsung bisa melihat langit saat malam hari. Rumah memiliki empat tiang kayu (soko) utama menopang rumah utama. Sumur tua usia diameter 1,5 meter dengan tinggi 80 cm tembok tebal mungkin usia ratusan tahun masih di pakai untuk mandi tapi tidak untuk di minum.
Rumah menghadap selatan dengan pintu sejajar dua, dan di dapur juga ada pintu yang bisa setengah bisa di buka tutup atas dan bawah. Ada bangku kuno di teras, dan halaman rumah semasa dulu ditanami singkong atau pati ganyong. Saat menginap pas tanggal 1 Januari 2024 malam hari pukul 23.20 malam turun hujan deras seperti tidak tinggal di dalam rumah sebab ada tampias kecil yang membasahi penghuni rumah. Takjub !
Mungkin penduduknya kurang kah ? untuk mengelola lahan yang ada maka sedikit sekali di garap. Apakah memang aparat Desa kurang greget memberi motivasi ? Lahan tanah halaman rumah dibiarkan tanpa dimanfaatkan. Wah dalam pikiran saya jika aparat desa paham tentang nilai jual tanaman pangan mungkin mereka akan berubah sikap. Tanaman cabai merah, atau buah naga misalnya bisa menjadi primadona mengingat harga jual kedua komoditas tersebut punya harga yang baik. Bukankah Bulan Ramadhan 1445 sudah di depan mata ? Cabai merah menjadi produk pertanian banyak di cari ibu rumah tangga. Harganya di tahun 2023 sempat melonjak Rp. 120.000,- per kilo,
Banyak yang bisa dilakukan di Kampung jika mau dan itu sangat memberi nilai tambah. Hanya kemauan dan partisipasi warga desa yang sadar bahwa halaman rumah mereka menjadi sumber penghasilan. Sepertinya aparat desa harus pro aktif tidak sekedar menggarap hal-hal rutin. Ini adalah catatan mikro dan mungkin saja kenapa Indonesia belum move on dari berhenti impor pangan karena memang sangat terlihat aktivitas di kampung jauh dari hal-hal inovatif. Wallahu alam bis sawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H