Mohon tunggu...
Sudiono
Sudiono Mohon Tunggu... Lainnya - I Owner Vpareto Travel Indonesia I Konsultan Ausbildung I https://play.google.com/store/apps/details?id=com.NEWVPARETOTOURNTRAVEL.android&pli=1

Pemerhati Masyarakat, Field study : Lychee des metiers des sciences et de I'industrie Robert Schuman, Le Havre (2013). Echange France-Indonesie visite d'etudes des provisieur - Scolaire Descrates Maupassant Lychee de Fecamp. Lycee Louis Modeste Leroy, Evreux (2014), Lycee Professional Jean Rostand, Rouen (2014), Asean Culinary Academy, Kuala Lumpur (2012). Departement of Skills Development Ministry of Human Resources Malaysia (2013). Seoul Technical High School (STHS) 2012. Jeju Self Governing School (2012), Assesor BNSP Marketting (2016), Assesor Akreditasi S/M (2015), Pelatihan CEC Coach Wiranesia (2022), pemilik Vpareto travel Indonesia,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pedagang Kecil Pribumi Nasibnya Sejak Dulu Kala

3 Agustus 2020   10:49 Diperbarui: 3 Agustus 2020   10:44 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita tarik ke belakang perjalanan bangsa ini sepertinya ada yang kurang beres. Pasca kemerdekaan 1945 bangsa Indonesia memang alami euphoria ingin menjadi bangsa yang mandiri, dan kuat dalam banyak aspek kehidupan. Bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari), bangsa yang tidak mau tergantung pada bangsa-bangsa lain. Bangsa ini pernah menolak bantuan asing dengan jargon "Go to Hell" atas bantuan  AS saat itu. Kita pernah keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekedar ingin menunjukkan eksistensi dengan menolak  berdirinya negara Malaysia.

Bangsa ini pernah perang total dengan Bangsa Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia dengan mempertahankan wilayah kolonial mereka terakhir di bumi Cendrawasih yang dulu di juluki Irian Barat. 

Akhirnya Irian barat berhasil di rebut walaupun dengan gugurnya Laksamana Madya Yos Sudarso dalam pertempuran laut Arafuru. Plebisit (1962) yang dilakukan memenangkan kelompok yang pro ke Indonesia walaupun sampai saat ini masih menimbulkan pro kontra dalam skala kecil.

Selepas kudeta (Coup d'etat) yang gagal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)  tahun 1965 terhadap jalannya pemerintahan sah di Republik Indonesia sepertinya bukan akhir dari babak drama nasib  bangsa ini. Seingat penulis sedikit di catat dalam dokumen sejarah Belanda bagaimana usaha kecil  di jamannya amatlah minim lebih banyak narasi politik apalgi catatan tentang  usaha pedagang kecil kalau sekarang di sebut Usaha Mikro.  

Dalam kenyataannya pelapisan sosial pada masa penjajahan kolonial Belanda seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat  dibedakan menjadi 3 golongan :

a. GOLONGAN EROPA DAN YANG DIPERSAMAKAN, Golongan ini terdiri atas :

1) Orang-orang Belanda dan keturunannya

2) Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis, Portugis dan lainnya.

3) Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan eropa atau telah di akui sebagai golongan eropa.

b. GOLONGAN TIMUR ASING, didalamya adalah China, Arab, India, Pakistan serta orang-orang kawasan Asia lainnya.

c. GOLONGAN BUMI PUTERA yaitu Orang-orang yang asli Indonesia yang di sebut Inlander.

lantas bagaimana terkait dengan perdagangan di masa itu yang terkait dengan keterlibatan pedagang kecil ?

Penulis mencoba untuk menganalisis pola jual beli yang melibatkan para  pedagang kecil di jamannya. Di atas sudah di tulis bagaimana Penjajah Belanda mendasarkan pembagian masyarakat dan kita manusia pribumi ditempatkan pada posisi paling buncit yatyu golongan Bumiputera. Penulis mencoba menggunakan "mesin ruang waktu" untuk melihat langsung pola perdagangan yang melibatkan kedudukan pedagang kecil. Hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pedagang kecil di era penjajahan ternyata tidak mendapatkan perhatian sama sekali diistilahkan "Jauh panggang daripada api". Tidak ditemukan catatan atau aturan-aturan yang menyangkut nasib pedagang kecil. 

Nasib pedagang kecil tertutup rapat karena penjajah Belanda fokus pada Program Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di mana jenis tanaman yang laku di pasaran internasional yang harus di tanam oleh penduduk baik di perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda atau di tanah - tanah milik pribumi. 

Siapa pun yang tidak mematuhi kehendak penjajah Belanda maka sudah siap untuk di hukum penjara dan denda uang. Tidak sedikit jumlah pribumi yang di hukum karena menolak aturan tanam paksa karena mereka sadar bahwa hasil bumi yang ditanam sangat merugikan keluarga petani/pekebun.

 Aturan tanam paksa yang di buat Van den Bosch di antaranya adalah mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan bagian tanahnya sekitar 20%., ketentuan lain mewajibkan bagi warga desa yang tidak memiliki tanah untuk bekerja di perkebunan2 Belanda atau di mana mereka tinggal selama 75 hari tanpa mengenal libur. Kaum pribumi yang nekat lantas mereka   menanam jenis tanaman seperti Vanila, Kopi, Tebu dan Indigo (bahan pewarna), Tembakau, Lada, Teh, kayu manis,Cengkeh dan Pala. Lantas bagaimana mereka menjualnya.

 Oke kita fokus pada pedagang kecil bagaimana nih kelanjutannya ? Memang apes sebagai inlander selalu di hina oleh penjajah baik sebelum ada Program Tanam Paksa dan sesudah Tanam Paksa.  Transaksi penjualan langsung dengan bangsa Belanda tidak diperkenan karena ada gap yaitu penjajah dan kaum yang di jajah. jadi transaksi perdagangan menggunakan jalur perantara, siapakah mereka yaitu didalamya adalah bangsa  China, Arab, dan India. Maka dari itu jelas lah pihak yang di untungkan dalam transaksi perdagangan. 

Kalau bisa saya umpamakan hasil bumi berupa Cengkeh harga dasar dari pedagang pribumi Rp. 75,- per kilogram. Namun, karena tidak bisa menjual langsung ke pedagang belanda maka perantara yang memanfaatkan celah antara pribumi dan pembeli Belanda. Bisa saja perantara (China, India dan Arab) menawar lebih rendah dan menjual lebih tinggi ke pihak pembeli Belanda.

Jelas sekali  yang untung mereka - mereka bukan kaum pribumi para pedagang perantara mendapatkan dua keuntungan sekaligus yaitu unt

ung dari harga yang di tawar lebih rendah dari yang ditetapkan kaum pribumi lalu menjualnya kepada pedagang Belanda. Pribumi sebagai pemilik tanah air, yang menanam, merawat dan memanen hasil perkebunannya tidak mendapatkan peran dan keuntungan apapun. 

Tidak ada perhatian sama sekali atas kepedulian pihak penjajah kolonial. Di manapun juga bahwa cengkeraman penjajah menyingkirkan masyarakat yang dijajahnya dan memberikan fasilitas pada mereka2 kaum golongan yang posisinya ada di atas kaum pribumi.

Tidak aneh jika saat ini kita melihat bahwa banyak para pedagang besar baik di perkotaan dan kabupaten mereka berasal dari etnis China, Arab dan India. Jika kita lihat Pasar Baru, Jakarta Pusat saat ini maka pemilik toko-toko utama adalah mereka yang sejak dulu mendapatkan porsi utama sebagai perantara dan pelaku utama transaksi perdagangan di tanah air. Bicara nasib pedagang kecil tidak akan pernah naik dan menggeser kedudukan tiga etnis tsb, menyedihkan dan itu sudah melewati selama ratusan tahun. Wallahu'alam bis sawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun