Mohon tunggu...
Sudiono
Sudiono Mohon Tunggu... Lainnya - I Owner Vpareto Travel Indonesia I Konsultan Ausbildung I https://play.google.com/store/apps/details?id=com.NEWVPARETOTOURNTRAVEL.android&pli=1

Pemerhati Masyarakat, Field study : Lychee des metiers des sciences et de I'industrie Robert Schuman, Le Havre (2013). Echange France-Indonesie visite d'etudes des provisieur - Scolaire Descrates Maupassant Lychee de Fecamp. Lycee Louis Modeste Leroy, Evreux (2014), Lycee Professional Jean Rostand, Rouen (2014), Asean Culinary Academy, Kuala Lumpur (2012). Departement of Skills Development Ministry of Human Resources Malaysia (2013). Seoul Technical High School (STHS) 2012. Jeju Self Governing School (2012), Assesor BNSP Marketting (2016), Assesor Akreditasi S/M (2015), Pelatihan CEC Coach Wiranesia (2022), pemilik Vpareto travel Indonesia,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pedagang Kecil Pribumi Nasibnya Sejak Dulu Kala

3 Agustus 2020   10:49 Diperbarui: 3 Agustus 2020   10:44 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

lantas bagaimana terkait dengan perdagangan di masa itu yang terkait dengan keterlibatan pedagang kecil ?

Penulis mencoba untuk menganalisis pola jual beli yang melibatkan para  pedagang kecil di jamannya. Di atas sudah di tulis bagaimana Penjajah Belanda mendasarkan pembagian masyarakat dan kita manusia pribumi ditempatkan pada posisi paling buncit yatyu golongan Bumiputera. Penulis mencoba menggunakan "mesin ruang waktu" untuk melihat langsung pola perdagangan yang melibatkan kedudukan pedagang kecil. Hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pedagang kecil di era penjajahan ternyata tidak mendapatkan perhatian sama sekali diistilahkan "Jauh panggang daripada api". Tidak ditemukan catatan atau aturan-aturan yang menyangkut nasib pedagang kecil. 

Nasib pedagang kecil tertutup rapat karena penjajah Belanda fokus pada Program Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di mana jenis tanaman yang laku di pasaran internasional yang harus di tanam oleh penduduk baik di perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda atau di tanah - tanah milik pribumi. 

Siapa pun yang tidak mematuhi kehendak penjajah Belanda maka sudah siap untuk di hukum penjara dan denda uang. Tidak sedikit jumlah pribumi yang di hukum karena menolak aturan tanam paksa karena mereka sadar bahwa hasil bumi yang ditanam sangat merugikan keluarga petani/pekebun.

 Aturan tanam paksa yang di buat Van den Bosch di antaranya adalah mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan bagian tanahnya sekitar 20%., ketentuan lain mewajibkan bagi warga desa yang tidak memiliki tanah untuk bekerja di perkebunan2 Belanda atau di mana mereka tinggal selama 75 hari tanpa mengenal libur. Kaum pribumi yang nekat lantas mereka   menanam jenis tanaman seperti Vanila, Kopi, Tebu dan Indigo (bahan pewarna), Tembakau, Lada, Teh, kayu manis,Cengkeh dan Pala. Lantas bagaimana mereka menjualnya.

 Oke kita fokus pada pedagang kecil bagaimana nih kelanjutannya ? Memang apes sebagai inlander selalu di hina oleh penjajah baik sebelum ada Program Tanam Paksa dan sesudah Tanam Paksa.  Transaksi penjualan langsung dengan bangsa Belanda tidak diperkenan karena ada gap yaitu penjajah dan kaum yang di jajah. jadi transaksi perdagangan menggunakan jalur perantara, siapakah mereka yaitu didalamya adalah bangsa  China, Arab, dan India. Maka dari itu jelas lah pihak yang di untungkan dalam transaksi perdagangan. 

Kalau bisa saya umpamakan hasil bumi berupa Cengkeh harga dasar dari pedagang pribumi Rp. 75,- per kilogram. Namun, karena tidak bisa menjual langsung ke pedagang belanda maka perantara yang memanfaatkan celah antara pribumi dan pembeli Belanda. Bisa saja perantara (China, India dan Arab) menawar lebih rendah dan menjual lebih tinggi ke pihak pembeli Belanda.

Jelas sekali  yang untung mereka - mereka bukan kaum pribumi para pedagang perantara mendapatkan dua keuntungan sekaligus yaitu unt

ung dari harga yang di tawar lebih rendah dari yang ditetapkan kaum pribumi lalu menjualnya kepada pedagang Belanda. Pribumi sebagai pemilik tanah air, yang menanam, merawat dan memanen hasil perkebunannya tidak mendapatkan peran dan keuntungan apapun. 

Tidak ada perhatian sama sekali atas kepedulian pihak penjajah kolonial. Di manapun juga bahwa cengkeraman penjajah menyingkirkan masyarakat yang dijajahnya dan memberikan fasilitas pada mereka2 kaum golongan yang posisinya ada di atas kaum pribumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun