Mohon tunggu...
Sudik
Sudik Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Guru SDN 04 Windurojo Kesesi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengintip Tradisi "Nyadran"

5 Maret 2023   09:01 Diperbarui: 5 Maret 2023   08:58 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap memasuki bulan Ruwah (penanggalan Jawa) masyarakat Windurojo memiliki tradisi khusus "Nyadran". Maka bulan ruwah juga mayarakat menyebut bulan Sadran. Kata "Sadran" sendiri penulis juga belum mendapat informasi yang pasti dari masyarakat tentang arti kata tersebut. Kemungkinan orang jawa sulit mengucapkan kata "Sya'ban" (penanggalan hijriyah  bulan ke-8). Tetapi tradisi nyadran sendiri sudah menjadi tradisi  masyarakat Jawa secara luas bukan hanya kearifan lokal yang ada di Windurojo dan sekitarnya. Hanya perayaan upacara adatnya mungkin yang berbeda-beda. Seperti apa tradisi nyadran di Windurojo?

Desa Windurojo Kecamatan Kesesi Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah terletak di paling ujung selatan kota kecamatan kesesi, sebelah baratnya sudah masuk wilayah kabupaten Pemalang. Letak geografis desa Windurojo terdiri dari perbukitan dan hutan. Ada empat dusun di Desa Windurojo yaitu Serang, Kutawangi, Karsngmoncol dan Leles. Kultur dari keempat dusun tersebut juga ada yang berbeda walaupn dalam satu wilayah namun tidak banyak misalnya dari segi dialek bahasa ibu dan strategi pelaksanaan budaya setempat. Akan tetapi tradisi nyadran masih banyak persamaan.

Penulis merangkum tradisi nyadran yang merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Windurojo. Para sesepuh menuturkan sejak kapan tradisi nyadran di Windurojo mereka tidak mengetahuinya, karena sejak mereka kecil dulu sudah ada tradisi tersebut. Nyadran di Windurojo ada dua ritual yaitu nyadran individu setiap rumah dan nyadran secara bersama-sama di makam umum. 

Tradisi nyadran perindividu ini biasanya dilakukan untuk mendoakan arwah para leluhur, orangtua, dan saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia. Maka ini mungkin ada kaitannya dengan penamaan  bulan Ruwah. Masyarakat menamakan tradisi nyadran ini sebagai sedekah munggah. Tetapi masyarakat banyak yang tidak tahu mengapa disebut sedekah munggah hanya mengikuti tradisi secara turun-temurun.

Setiap rumah juga berbeda hari pelaksanaannyq. Biasanya nyadran dilakukan pada hari kelahiran (weton) dari kepala keluarga atau hari yang disepakati anggota keluarga karena faktor ekonomi. 

Pada hari pelaksanaannya diawali dengan memasak. Adapun masakan yang disajikan yaitu nasi dang (adang). Nasi  adang yaitu nasi yang dimasak menggunakan kayu bakar memakai tungku pawon dengan alat dandang yang diberi air, kukusan yang terbuat dari bambu. Kurang lebih 1-2 jam nasi akan masak. Adapun lauknya terdiri dari srundeng yang terbuat dari serutan kelapa yang telah digoreng, kacang-kacangan dan juga ditambah dengan ayam goreng, telur dan tempe atau tahu goreng atau ikan asin.

Setelah makanan siap saji dan dikemas dalam besek atau cething (bahasa jawa), tuan rumah memanggil beberapa tetangga dekat untuk mendoakan (selametan) dan tuan rumah membagikan berkat selametan tersebut kepada tetangga-tetangga yang tidak hadir. Juga dalam tradisi nyadran individu ini dimanfaatkan untuk silaturrohim kepada saudara-saudara dengan membawa makanan khusus (saling ngirim makanan).

Sebagian masyarakat juga masih ada pada momen nyadran tersebut membuat sesajian untuk arwah leluhur yang ditaruh pada kamar khusus. Namun, sebagian masyarakat juga sudah tidak melakukan hal demikian. 

Adapun nyadran secara bersama-sama dimakam biasanya dilakukan pada hari Jumat Kliwon di bulan Ruwah dengan menyembelih kambing yang dimasak bersama-sama di makam tersebut. Tradisi ini juga dilakukan secara turun-temurun dengan biaya ditanggung bersama-sama oleh masyarakat setempat. Masyarakat datang berduyun-duyun ke makam dengam membawa alat kebersihan. Sambil menunggu masak kambing selesai, masyarakat melakukan kebersihan di lingkungan makam. Kemudian secara khusus melakukan kebersihan (nyapu) di makam orangtuanya atau saudaranya sambil berziarah. Setelah semua selesai dan masakan siap saji, semua makan secara bersama-sama. Dan panitia juga membagikan daging kambing kepada yang tidak dapat hadir ke makam.

Demikian salah satu kearifan lokal yang ada di Desa Windurojo Kecamatan Kesesi Kabupaten Pekalongan Jateng, jika ada kemiripan di daerah lain mungkin dari akar budaya yang sama. Karena adanya proses asimilasi budaya baru yang masuk atau agama atau kepercayaan lain sehingga ada penambahan ataupun pengurangan dari budaya aslinya. Intinya ada nilai-nilai luhur yang positif yang merupakan warisan dari nenek moyang yang perlu dilestarikan dan dipertahankan seperti budaya gotong-royong, hidup rukun, toleransi, silaturrahim dan nilai positif lain yang tersirat dalam tradisi nyadran tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun