Mohon tunggu...
Ade Sudaryat
Ade Sudaryat Mohon Tunggu... Penerjemah - Penulis Lepas bidang Pendidikan, Agama, dan Budaya

Ade Sudaryat seorang penikmat buku, praktisi pendidikan peminat masalah-masalah sosial, dunia filsafat dan agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hening Versus Bising

14 Juli 2021   09:10 Diperbarui: 14 Juli 2021   09:14 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suara gemecik air dengan hiasan  ikan berenang riang hanya ada di akuarium. Nyanyian burung di perkampungan yang dikelilingi sawah dan pepohonan hijau, kini tergantikan dengan hentakan berbagai suara musik keras dari setiap rumah, suara gergaji mesin para penebang pohon,  juga tergantikan dengan deru suara mesin pabrik. Nyanyian burung yang indah hanya ada di dalam sangkar sempit yang  mengebiri kebebasannya untuk terbang tinggi. Langit nan biru menjadi kelabu karena asap dari mesin-mesin pabrik dan kendaraan.   

Masjid, tempat yang suci, kini tidak hening lagi. Suara handphone dengan berbagai ringtone-nya sering berbunyi keras  membuyarkan kekhusyukan zikir. Meskipun tertulis himbauan di pintu masjid, "Masuk Masjid, HP dimatikan/di-silent-kan",  masih banyak yang tak menghiraukannya.

Tak jarang, ketika shalat Jum'at  tengah berlangsung, berbagai ringtone  handphone  berbunyi nyaring. Bukan dari jamaahnya saja, terkadang ringtone handphone khatibnya pun  berbunyi nyaring, ia lupa mematikannya. Zikir atau mendengarkan lantunan ayat suci yang harus menjadi hiasan utama di masjid tergantikan dengan mendengarkan berbagai ringtone handphone.

Selama tinggal di masjid, ibu jari yang seharusnya sibuk "memainkan" tasbih sambil membaca zikir, kini tergantikan dengan sibuk memainkan gadget atau handphone yang ada di tangan. Sibuk melihat barang yang akan dibeli secara online yang terkadang dihiasai dengan iklan-iklan yang mengumbar aurat. Petuah agama yang dulu benar-benar toleran, membawa pesan kedamaian, saling menghormati, dan saling menghargai, kini tergantikan dengan saling menghujat dan saling menjelekkan.

Kini hampir semua keheningan digantikan dengan berbagai macam kebisingan. Alam yang indah diganti dengan "kebisingan" berbagai polusi yang mengotorinya. Sampah pelastik, pestisida, asap pabrik dan kendaraan serta berbagai barang lainnya membuat lingkungan kita menjadi tercemar.

Kita nampak sudah enggan bersahabat dan berlaku ramah kepada alam sekitar kita. Janganlah mengherankan jika banjir, kekurangan air, ketidaksuburan tanah, gerahnya udara,  dan lain sebagainya menimpa kita. Semua itu merupakan balasan atas ketidakramahan kita kepada  alam sekitar kita.

Kehidupan bermasyarakat yang hening digantikan pula dengan berbagai kebisingan sosial-politik. Persaingan hidup yang semakin ketat menyebabkan orang tidak mau lagi saling bantu. Kehidupan yang dilandasi egoisme melanda setiap jiwa. Apalagi di bidang politik, kebisingan yang memekakkan telinga sering terjadi. Saling kritik sampai saling hujat antar politisi, perang  urat syaraf, sampai bertengkar sudah dianggap lumrah. Kalaupun ada perdamaian  hanya sesaat,  disesuaikan  dengan kepentingannya masing-masing.  Mereka memegang rumus utama dunia politik, "tak ada kawan abadi, tak ada lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi."

Masing-masing individu, kini kesulitan mendapatkan keheningan baik secara psikologi,  sosial, ekonomi, maupun politik. Di sekitar lingkungan hidupnya sudah sarat dengan berbagai polusi  udara dan suara. Kesulitan hidup yang setiap saat selalu menghadang menjadikan diri setiap individu semakin resah dan gelisah. Perdebatan dan perselisihan antar politisi pengelola negara membuat kehidupan semakin bising, tidak nyaman.

Kini, keheningan menjadi sesuatu yang mahal untuk kita dapatkan. Sekedar untuk tidak diganggu suara ringtone handphone saja sulit untuk mendapatkannya. Benar karena sudah zamannya, kita tak mungkin bisa lari dari dampak  semua kemajuan ini. Namun demikian, kita tak boleh larut dalam kebisingan hidup terus menerus. Kita harus kembali menghidupkan keheningan, minimal keheningan dalam diri kita.

Kita harus menyediakan waktu khusus untuk kembali menghidupkan keheningan tersebut tanpa terganggu suara ringtone handphone atau suara kebisingan lainnya. Kita harus kembali menghidupkan zikir, membasahi lisan, menghidupkan hati dengan banyak memuji Sang Pencipta Kehidupan, Allah swt,  seraya kembali mempererat tali silaturahmi dengan sahabat dan kerabat.

Zikir merupakan ruh kehidupan yang akan menjadikan jiwa kita hidup dan bergerak. Orang yang senantiasa berzikir ibarat ikan di lautan, seumur hidupnya tinggal di lautan yang bergaram, tapi tubuhnya tak terasa asin. Demikian pula, orang-orang yang senantiasa berzikir, mengingat Allah, meskipun hidup di tengah-tengah berbagai kebisingan,  hatinya akan tetap hening dan tenang, tidak larut dan hanyut dalam kehidupan yang semakin bising dan penuh persaingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun