Akhir-akhir ini santer sekali diberbagai media memberitakan gonjang-ganjing tunjangan kinerja (Tukin) dosen. Gonjang-ganjing ini terjadi karena dosen di lingkungan kemdikbudristek tidak mendapatkan tukin seperti halnya di kementrian lainya misalnya dosen di kementerian kesehatan, kemenag dan lainya. Gonjang-ganjing tersebut semakin menjadi pasca diterbitkanya Kepmendikbudristek No 447/P/2024 tanggal 11 Oktober 2024 yang mengatur tentang nama jabatan, kelas jabatan dan pemberian besaran tunjangan kinerja jabatan fungsional dosen dikementerian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi. Dalam Kepmendikbudristek tersebut di sebutkan dalam sebuah diktum bahwasanya tunjangan kinerja dosen ASN akan dilakukan pertanggal 1 Januari 2025.
Lantas berapa besaran tukin yang diterima oleh dosen di bawah Kementrian pendidikan dan kebudayaan riset teknologi? Merujuk pada lampiran Kepmendikbudristek No 447/P/2024 besaran tukin yang diterima oleh dosen tiap bulan dengan jenjang jabatan asisten ahli kelas jabatan 9 akan menerima tukin sebesar Rp. 5.079.200, jenjang jabatan lektor kelas jabatan 11 sebesar Rp. 8.757. 600, jenjang jabatan Lektor kepala menerima Rp. 10.936. 000 dan jenjang jabatan Profesor menerima tukin sebesar Rp. 19.280.000. Nilai yang sangat fantastis bukan, jika di gabung dengan gaji dan apalagi dosen yang mendapatkan sertifikasi dosen maka bisa dibayangkan besaran pendapatan perbulan yang di dapatkan seorang dosen ASN di lingkungan kemetrian pendidikan kebudayaan riset dan teknologi? Dan berapa besar anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan tukin dosen di seluruh Indonesia.Â
Di satu sisi bagaimana nasib dengan dosen di Perguruan Tinggi Swasta (PTS)? Terlebih dosen di bawah badan penyelenggara yang tidak cukup kuat secara finansial? Apakah juga akan mendapatkan tunjangan kinerja meskipun sama-sama kerja dengan beban kerja yang sama? Sama-sama mempunyai peran mencerdaskan generasi bangsa? Apakah badan penyelenggara yang akan memberikan tukin? Biarkanlah waktu yang menjawab berbagai pertanyaan tersebut!
Pemerintah perlu melihat dan melakukan survey terhadap gaji seorang dosen di PTS, apakah gaji yang mereka terima selama ini sudah layak atau belum? Apakah dosen di PTS sudah sejahtera layaknya seorang akademisi dengan pendidikan yang tinggi selevel S2 (magister)? Tidak jarang beberapa dosen di PTS terlebih dengan kemampuan badan penyelanggara yang terbatas hanya menerima gaji sebesar UMK kabupaten atau kota saja terkadang malah dibawah UMK. Ya meski ada tambahan tunjangan lainya misal pembuatan soal, bimbingan karya tulis dan kegiatan akademik lainya yang dibilang memang masih jauh jika dibandingkan dengan tukin yang akan diberikan kepada dosen dibawah kemedikbudristek karen semua tergantung dari kemampuan badan penyelenggara masing-masing dosen ber homebase. Ironis bukan? Seorang akademisi dengan jenjang pendidikan magister dengan biaya pendidikan yang bisa dibilang tidak sedikit hanya dihargai senilai UMK. Tapi itulah realita yang terjadi saat ini.
Dosen Non ASN dapat serdos?
Dosen Non ASN di PTS kan juga mendapatkan sertifikasi dosen? Ya memang benar dosen di PTS juga berhak mendapatkan sertifikasi dosen. Pertanyaanya adalah apakah semudah yang dibayangkan seorang dosen untuk mendapatkan sertifikasi? Berbagai syarat administrasi yang saya kira tidak semua dosen mampu untuk melangkah dan mencapai sertifikasi dosen. Berikut syarat yang harus dipenuhi seorang dosen untuk mendapatkan sertifikasi yang dikutip dari laman LLDIKTI Wilayah 6 Jawa Tengah:Â
- Memiliki NIDN untuk dosen tetap atau memiliki NIDK untuk dokter pendidik klinis (Dokdiknis) atau NIDK untuk dosen paruh waktu;Â
- Memiliki jabatan fungsional sekurang-kurangnya Asisten Ahli;
- Memiliki pangkat/golongan-ruang atau inpassing bagi dosen non-ASN;
- Memiliki masa kerja sebagai Dosen sekurang -- kurangnya 2 tahun secara berturut -- turut Terhitung Mulai Tanggal (TMT) pengangkatan pertama dalam jabatan fungsional Dosen;
- Memenuhi Beban Kerja Dosen (BKD) 2 tahun secara berturut -- turut;
- Memenuhi nilai ambang batas (Passing Grade) Tes Kemampuan Dasar Akademik (TKDA) dari Lembaga yang diakui Kemendikbudristek;
- Memenuhi nilai ambang batas (Passing Grade) Tes Kemampuan Berbahasa Inggris (TKBI) dari Lembaga yang diakui Kemendikbudristek; dan
- Memiliki Sertifikat Program Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) atau Applied Approach (AA) dari perguruan tinggi pelaksana Program PEKERTI/AA yang diakui Kemendikbudristek.Â
 Tidak sebatas banyaknya syarat tersebut, yang kedua juga ditambah dengan kuota sertifikasi dosen yang terbatas dari kementrian ditiap periodenya sehingga ini membuat dosen semakin sulit menuju dan mencapainya karena harus berebut dengan ribuan dosen lainya. Diluar mudah atau tidak syarat administrasi sertifikasi dosen tersebut, meski dosen di PTS harus merogoh saku untuk untuk memenuhi syarat tersebut namun ini menjadi salah satu alternatif bagi dosen di PTS untuk memperjuangkan dan menginginkan penghasilan tambahan untuk kesejahteraan bagi dosen dan keluarganya jika tukin hanya diperuntukkan bagi  dosen ASN di lingkungan kemetrian pendidikan kebudayaan Riset dan teknologi.Â
Gap pendapatan yang signifikan?
Jika benar tukin diberlakukan di awal tahun 2025 tentunya pasti akan terdapat gap yang sangat jauh antara dosen ASN dan non ASN. Bayangkan saja dengan peran dan beban yang sama dosen Non ASN katakanlah golongan 3b dengan sertifikasi masa kerja nol tahun dengan gaji pokok dari badan penyelenggaraRp. 3.500.000 dan sertifikasi dosen golongan tersebut sebesar Rp. 2.903.600. Jika kita jumlahkan total pendapatan dosen non ASN bersertifikasi hanya berada dikisaran Rp. 6.304. 600. Jika dibandingkan dengan Tukin seorang dosen ASN dengan jabatan fungsional Lektor saja masih jauh yaitu sebesar Rp. 8.757.600 belum termasuk gaji pokok, sertifikasi dosen dan tunjangan lainya.Â
Gap ini yang kemungkinan akan menimbulkan kecemburuan antara sesama dosen hanya beda status yaitu dosen ASN dan Non ASN. Harapanya adanya gap yang sangat signifikan ini ke depan tidak mempengaruhi kinerja dosen non ASN di PTS terutama dalam pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Semoga ada kebijakan yang berpihak dari pemerintah terhadap dosen non ASN yang notabene sama-sama turut berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H