Medio, 11 Maret 2024. Senja itu aku melalui jalanan yang masih basah dengan bekas turunnya hujan yang membasahi Kota Padang beberapa hari ini.Â
Pandangku sesekali kupalingkan ke luar kaca mobil lantaran terdorong oleh rasa ingin tahuku akan suasana bumi Minang yang memang baru pertama kali aku kunjungi.
Sementara itu, lagu berbahasa Minang yang dilantunkan Irsal Fauzana seorang vokalis cantik dari Bukittinggi mendayu-dayu mengiringi perjalananku dan akupun larut dengan lagu itu meskipun aku tidak begitu faham akan maknanya.Â
Tiba-tiba "kita melewati Jembatan Siti Nurbaya pak" kata Pak Yosef kepadaku. "Oh, jembatan depan itu ya ?" balas ucapanku. "Wow, bagus sekali" dengan rasa kagum aku melanjutkan ucapanku.
Yach, jembatan itu memang terlihat menawan dengan warna warninya yang khas mampu membuat takjub setiap orang yang memandangnya, terutama bagi yang pertama kali melintasi jembatan itu.Â
Dengan pagar jembatan berwarna merah dan warna kuning yang dipadu hitam mendominasi deretan tiang penyanggah bulatan lampu hias berwarna putih kristal di sepanjang jembatan memberikan kesan tersendiri serta menambah anggunnya jembatan itu.
Aku terus mengamati artistiknya jembatan yang berdiri kokoh membentang di atas Sungai Batang Arau itu dan tiba-tiba ingatanku melayang pada novel roman karya Marah Rusli seorang sastrawan Balai Pustaka di tahun 1920-an yang mengisahkan perjalanan cinta Samsul Bahri dengan Siti Nurbaya yang tak sampai itu.
Begitu dalam dan agung perjalanan cinta mereka berdua. Dari hari ke hari Samsul Bahri merajut rindunya yang kian hari kian membara.
Namun, sayangnya semua itu tinggal kenangan bahkan hampir saja membawa Samsul Bahri mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena adanya orang ketiga yaitu Datuk Maringgi seorang bangsawan Minang pesaing bisnis Bagindo Sulaiman.