Mohon tunggu...
suci sayako
suci sayako Mohon Tunggu... -

hitam.putih.abuabu.warnawarni.itulah hidup.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eksistensi Vs Esensi

2 Januari 2011   07:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:02 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12939547851906004496

Jika kita mendengar kata keluarga, pasti yang terbersit di dalam ingatan adalah seorang ayah, ibu beserta anaknya. Ada lagi kakek, paman, bibi dan paman beserta sepupu dan keponakan. Tapi, jika salah satu dari mereka hilang, apakah esensi dari sebuahkeluarga menjadi hilang?

Baru baru ini, ada sebuah berita yang mengabarkan ada persentase yang meningkat pada permintaan sperma di Bank Sperma. Sperma ini biasanya di minta oleh pasangan abnormal seperti pasangan lesbi, gay, atau single parents. Pasangan ini nantinya akan membayar jasa seorang wanita untuk disewakan rahimnya. Nah, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah mereka bahagia dengan mempunyai seorang anak dengan hilangkan sebuah atau beberapa posisi orang dalam keluarga?

Suatu ketika saya pernah menonton sebuah talk show Oprah yang mengekspos sebuah keluarga yang dikalangan masyarakat awam dinilai aneh. Ada sepasang suami istri yang dalam perjalanan perkawinannya menemukan ada yang hilang dalam diri mereka masing masing. Dan setelah diadakan pengakuan antara kedua belah pihak, ternyata sepasang suami istri tersebut mengalami kelainan jiwa secara seksual yaitu mereka menyukai sesama. Yang menarik perhatian adalah keputusan mereka untuk menikah. Hal ini dilakukan karena mereka masih mempertimbangkan aspek kewajaran dalam masyarakat sebagai pertimbangan di atas segalanya. Itulah kadang kadang, adat dan tradisi dalam masyarakat masih terlihat seperti benang halus yang tak terlihat yang mengikat setiap sisi kehidupan masyarakat. Bahkan, Negara sebebas Amerika saja masih mempertimbangkan nilai nilai masyarakat sebagai azas utama.

Nah, yang menjadi perhatian di sini adalah apakah sebuah keluarga yang lengkap yang katanya terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan anak menjadi factor mutlak adanya kebahagiaan hakiki? Ternyata, jika kamu dan saya menilik pada kasus keluarga Amerika ini, hal itu menjadi terpatahkan. Dalam perjalanannya, keluarga Amerika ini memutuskan untuk bercerai dan lalu menjalani hidup sesuai apa yang diinginkan mereka tanpa lagi mempertimbangkan nilai social yang masih berlaku dalam masyarakat. Mereka memutuskan untuk menikahi pasangan gay dan lesbi masing masing dan melanjutkan hidup dengan bahagia dan damai.

Sesungguhnya, jika saya bertanya kepadamu tentang arti kebahagiaan, apakah itu berarti sebuah kondisi lengkap dimana kita tidak kekurangan sesuatu? Tidak. Tentu saja tidak. Karena standar kebahagiaan menurut saya dating dari kondisi saling melengkapi kekurangan untuk mendapatkan suatu posisi yang dirasa lengkap.

Kembali ke BanK Sperma di atas. Apakah menurut kamu, keluarga yang tidak lengkap yang muncul karena adanya kehadiran seorang anak bukan dari hasil perkawinan, menjadi sebuah kondisi yang tidak bahagia. Dan aoakah kamu bias menjamin saya bahwa keluarga kamu yang lengkap yang terdiri dari seorang ayah , ibu dan anak, bias membuat saya percaya bahwa kamu bahagia? Tentu saja tidak. Sesungguhnya yang kita perlukan di dunia ini bukanlah kehadiran seseorang. Tapi yang kita butuhkan adalah eksistensi seseorang.

Saya kira ini waktu yang tepat bagi saya dan kamu untuk merenung apakah saya dan kamu bahagia? Ayah dalam sebuah keluarga tidak akan terasa kehadirannya jika pergi kerja jam 6 pagi dan baru pulang jam 9 malam ketika seluruh penghuni rumah tertidur pulas.Sosok seorang ibu tidak akan terasa jika setiap hari anak dan suami hanya ditemani oleh pembantu. Kehadiran seorang anak juga tidak akan berbekas dalam hati jika setiap hari selalu ada pertengkaran dengan orang tua yang berujung pada kaburnya si anak. Tapi, cobalah liat keluarga dengan satu ibu atau satu ayah yang diakibatkan oleh perceraian. Seringkali kondisi mereka menjadi sangat lebih baik dengan tidak adanya salah satu anggota keluarga. Ini karena mereka belajar untuk melengkapi kekurangan, bukannya mencari celah untuk melengkapi kekurangan dengan mengorbankan perasaan.

Pasangan gay, lesbi dan juga single parent akan menjadi kelurga yang berkualitas jika seluruh komponen keluarga dapat dilengkapi oleh anggota keluarga yang ada. Sungguh, anak dari pasangan gay tidak akan merasa kehilangan sosok ibu. Dan sebaliknya, anak dari pasangan lesbi tidak akan pernah kehilangan sosok ayah dalam keluarga mereka. Inilah yang dinamakan kebahagiaan sejati, dimana kekosongan akan menjadi lengkap jika kita, kamu dan saya, menghargai dan menyadari pentingnya hadir seseorang dalam keluarga kita. Bukan masalah eksistensi, tapi esensi.makna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun