Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Mungkin Interupsi, Teman Saya Pilih "WO" Saat Khutbah Jumat Menyiarkan Kebencian

20 November 2016   15:51 Diperbarui: 20 November 2016   19:34 6209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Khotbah jum'at  tidak mencerahkan malah membuat emosi,”  tutur suami saya  sambil bersungut-sungut.  Bukan sekali itu saja suami saya ikut sholat jumat  dengan pengkhotbah yang membuat emosi. Saking tidak hanya sekali, suami sudah bisa menandai   masjid yang memberikan khotbah jumat yang cenderung  ‘keras’ , menebarkan 'kebencian', permusuhan dan mengkotak-kotakkan minoritas salah satunya dengan memberikan pemahaman untuk tidak  memilih pemimpin non muslim.

Hanya sesekali suami terpaksa ikut jumatan di masjid dengan khotbah jumat yang keras tersebut karena lebih dekat dengan kantor  dan waktu tidak mencukupi untuk mencari masjid yang cukup jauh dari kantor.

Menurut cerita suami, saat khotbah jumat dengan tema seperti itu, biasanya suami hanya bisa menahan diri, jengkel , yang pada akhirnya merasa sholat jumatnya kurang ikhlas karena perasaan-perasaan tersebut. Pada akhirnya Jumatannya  menjadi tidak lagi menyenangkan, menyejukkan , menenangkan  hati  karena rasa jengkelnya (mangkel meski dalam hati).

Suami saya masih lumayan mendingan, menyelesaikan mendengarkan khotbah jumat sampai mengakhiri dengan sholat jumat. Tetapi itu tidak berlaku bagi teman saya. Saking jengkel dan marahnya dengan isi khotbah jumat, ia gatal sekali ingin interupsi. Ia  berpendidikan pesantren, besar di lingkungan pesantren,  mengkaji keislaman  dengan sangat baik sehingga tahu  betul ajaran islam yang menyiarkan kedamaian, kasih sayang .  Bukan islam  yang mengajarkan kebencian, permusuhan, menghina minoritas. Kebetulan ia juga aktivis yang lumayan vocal dan tidak bisa diam dengan hal-hal yang ia anggap menyimpang. Tetapi ia tahu betul, jika khotbah jumat itu tidak bisa di interupsi sehingga  ia memilih walk out  meninggalkan masjid dan tidak melanjutkan sholat jumat.

Saya gatal sekali ingin meluruskan. Tetapi karena tidak mungkin interupsi, saya memilih keluar,” katanya dengan gusar.

Ulama Mestinya Menyejukkan

Saya tidak sedang memperdebatkan tentang Al Maidah 51, demo 411, dugaan penistaan agama oleh Ahok,  dll  pasti akan muncul pro dan kontra.  Saya hanya ingin mengungkapkan apa yang kami rasakan, yang kami perbincangkan sehari-hari.  Mengapa ulama ikut-ikutan berpolitik?  

Meskipun dibungkus dengan  syiar islam, menyampaikan isi Al Maidah 51 sesuai  penafsiran khotib jumat  yang intinya jangan sampai memilih pemimpin non muslim, tetapi orang akan mudah memaknainya  menjadi isi khotbah yang politis. Dan dikaitkan dengan dugaan penistaan agama oleh Ahok yang sedang ramai diperbincangkan .

Soal khotbah jumat yang  menurut saya tidak murni lagi tetapi bermuatan politis, tidak hanya terjadi  kali ini. Menjelang Pilihan Walikota Solo tahun lalu, kebetulan salah satu calon walikota Solo adalah  FX Hadi  Rudyatmo, yang merupakan wakil walikota Jokowi saat  Jokowi menjabat Walikota Solo,  dan  kebetulan non muslim. Sudah ada beberapa khotbah jumat  di Solo yang  mengulas Al Maidah 51, mengajak untuk tidak memilih pemimpin non muslim. Bahkan selebaran, leaflet, grup-grup di media sosial banyak mengkampanyekan untuk tidak memilih pemimpin non muslim tersebut. 

Momentum  isi khotbah jumat   menjelang Pilkada Solo waktu itu masih cukup relevan. Tetapi saat ini,  menjelang Pilgub DKI Jakarta, kok ada ulama di luar jakarta yang ikut-ikutan  menyampaikan khotbah seperti itu ya?

Alangkah bijaknya (usul saja)  jika ulama tidak ikut-ikutan membuat ‘panas’ suasana dengan khotbah yang cenderung memecah belah dan bisa  membuat pro kontra umat.  Sudah cukup rakyat terpecah belah mensikapi dugaan penistaan agama oleh Ahok yang berujung demo 411 yang lalu. Sampai sekarang pun belum cukup reda dan belum akur kembali jalinan pertemanan, persaudaraan karena perbedaan sikap soal dugaan penistaan agama  oleh Ahok. Jangan sampai suasana yang mulai sejuk ini ternodai kembali dengan perbedaan sikap yang digaungkan oleh ulama yang mestinya memberikan pernyataan yang mendamaikan dan menenangkan hati panas masyarakat. #curhat# (mohon maaf jika ada yang tidak berkenan).**

_Solo, 20 November 2016_

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun