Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semurni Kasih Ibu

29 November 2014   20:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:31 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja mulai menyapa. Semburat warna merah kekuningan perlahan semakin melebar. Matahari mulai turun, menghilang dan meninggalkan sinar kuning yang perlahan mulai meredup. Satu persatu pengunjung mulai meninggalkan taman. Beberapa ibu muda yang tadi duduk ditaman sambil mengasuh anaknya mulai melambaikan tangan. Saat kaki-kaki mungil mendekat, si ibu merengkuh anaknya dan mengajak berlalu.Tiga remaja putri yang dari tadi duduk sambil berbincang dan sesekalifoto bersama, segera membereskan tas, sepatu dan ponsel. Mereka bergegas.

Sepi. Tinggallah Sekar menatap Galuh yang asyik bermain ayunan. Putri cantik berumur lima tahun itu tidak terpengaruh dengan semua orang yang meninggalkan taman. Matanya menatap acuh anak-anak yang menyongsong ibu mereka dan berlalu. Ada atau tidak ada teman, bagi Galuh tidak ada bedanya. Semua tampak biasa saja. Sepi.

Sekar menutup mata dengan tangan kanannya saat angin menerbangkan debu. Beberapa butir debu sempat masuk ke mata kiri, dibersihkan dengan tisu yang selalu ada di saku bajunya.Pandangan matanya menatap Galuh tanpa berkedip. Ada rasa ngilu merayapi hatinya saat melihat betapa asyiknya Galuh bermain sendirian.Lingkungan sekitar tidak cukup berarti apa-apa baginya. Dia terlalu asyik dengan dunianya sendiri.Sekar memberikan isyarat Galuh untuk mendekat saat putrikecilnya itumelihat ke arahnya.Lambaian tangan Sekar membuat Galuh mendekat. Dengan nafas memburu, Galuh meraih botol minuman berisi air putih yang langsung diteguksampai hampir habis. Galuh mengangguk puas dan tersipu malu saat menyadari telah diperhatikan ibunya.Tangan Galuhmemberikan isyarat minta maaf karena tergesa-gesa minum. Sekar membelai rambut Galuh sambil mengangguk.

Sekar termangu saat Galuh berlarimenjauh dan tak lama kemudian asyik perosotan. Tak segaja, pandangan mata Sekar terpaku pada kursi besikokoh di sudut taman. Kursi dengan hiasan kepala angsa di pinggirnya itumampu menghadirkan kembali kenangan masa lalu.Mata Sekar tak berkedip. Dulu, sebelum Sekar menikah dengan Satrio, mereka sering menghabiskan malam Minggu di sudut taman ini, di kursi kepala angsa. Semua cita-cita merenda hidup bersama terucap di taman ini juga. Saat mereka menikah, kebiasaan menghabiskan waktu berdua masih terus dilakukan. Sampai suatu saat waktu telah merubah Satrio, tidak seperti yang pernah dia kenal.

Sekar menyusut cairan bening yang jatuh di kelopak matanya. Kenangan setahun yang lalu kembali hadir menyisakan perih yang tidak mampu terhapus oleh waktu.

Sekartak mampu berkata apa-apa saat suaminya dengan kasarmenutup pintu kamar.Sekar hanya mampu mengelus dada dan menahan tangis. Sudah tidak terhitung lagiair mata Sekar tumpah di pipinya yang tirus.Satrio, berubah sikap sejak tiga bulan belakangan. Dulu dia sangat lembut, santun, sayang, memanjakan Sekar dan Galuh, anak semata wayang mereka. Meskipun capek bekerja tetapi Satrio masih menyempatkan diri mengajak Galuh bermain. Bahkan setelah Galuh tertidur pulas, biasanya Satrio menemani Sekar melihat televisi sambil bertukar cerita kegiatan seharian itu. Saat seperti itulah semua capek yang dirasakan Sekar tuntaslah sudah. Pekerjaan rumah tangga sampai mengasuh Sekar yang terlahir dengan keterbatasan, tidak terasa lagi. Semua hilang saat melihat kasih sayang suaminya yang begitu tulus kepada dirinya. Sekar selalu bersyukur dan merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena mempunyai suami yang sayang, perhatian dan mencintai keluarga.

Tetapi, sejak ada teman kerja baru di kantor, seorang wanita, perlahan tetapi pasti ada yang mulai berubah dengan sikap suaminya. Meskipun awalnya selalu ditutupi tetapi lama kelamaan Satrio tidak kuasa lagi menahan perubahan dirinya. Sekitar enam bulan kemudian, Satrio berubah seratus delapanpuluh derajat. Satrio tidak mau lagi berusaha untukmenutupi semua yang telah terjadi. Tidak ada lagi sikap manis dan lembut, tidak ada lagi kasih sayang dan perhatian apalagi waktu luang untuk mengajak Galuh bermain. Hampir setiap hari Satrio pulang malam dengan alasan lembur dan rapat di kantor. Bahkan di hari Sabtu dan Minggu yang biasanya libur, tetap pergi keluar dengan alasan rapat. Setiap kali Sekar mempertanyakan kebiasaan barunya, selalu dijawab dengankalimat kasar yang mengatakan itu bukan urusan Sekar.

Bukan hanya sekali Satrio menyakiti hatinya dengan berpaling kepada perempuan lain. Saat usia pernikahan mereka berjalan satu tahun dan Sekar sedang hamil muda, Satrio pernah mengkhianatinya dengan menjalin hubungan dengan teman lamanya. Beruntung saat Galuh lahir, Satrio tersadar dan mengakhirihubungan terlarang tersebut.

“A-YO, PU-LANG,” perlahan Galuhmengeja kalimatnya dengan susah payah. Galuh menarik tangan Sekar dengan sangat lembut sambil melihat gerak bibir ibunya. Menunggu jawaban.Sekarberdiri, memberikan senyum lebar kepada anaknya. Untuk terakhir kalinya matanya memandang kursi di sudut taman. Sejauh apapunseekor burung ituterbang,suatu saatpastiakan kembali ke sarangnya. Saat lelah dan butuhranting untuk hinggap,hati ini selalu siap menanti. Tidak akan pernah ada yang akan mengisi sosok yang telah hilang ini, karena hanya kau yang bisa menempatinya. Batin Sekar penuh kenyakinan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun