LGBT tidak hanya menyasar dan marak di kota besar. Kota kecil pun mempunyai komunitas LBGT. Semakin tahun tidak berkurang, tetapi justru bertambah jumlahnya. Mengutip kata seorang teman , “ para LGBT tidak bisa mengandung dan melahirkan, tetapi kok semakin tahun jumlahnya semakin banyak,”.
Terlepas dari pro dan kontra kekeberadaan mereka, tulisan saya ini tidak bermaksud untuk menyalahkan komunitas LGBT, hanya sekedar sharing. Barangkali bermanfaat.
Di Solo, komunitas LGBT, salah satunya yang biasa di sebut ‘wandu’ atau banci sejak lama sudah ada. Beberapa tempat nongkrong terdeteksi , salah satunya di kawasan Sriwedari. Setiap malam, terutama kalau malam Minggu, komunitas tersebut biasa bertemu di situ. Tak ada yang aneh. Warga biasapun sudah merasa biasa melihat kelompok tersebut. Kecenderungan ‘menerima’ mereka memang besar, sehingga kelompok tersebut tidak merasa disisihkan dan karenanya eksis.
Sementara di kabupaten kecil, kabupaten Boyolali, yang terletak di sebelah barat kota Solo, LGBT mengalami pertumbuhan sebagaimana Kota Solo. Bahkan sudah cenderung terang-terangan. Seperti beberapa bulan yang lalu, ada kejadian cukup heboh yaitu acara mirip pernikahan antara gay di sebuah desa di kabupaten Boyolali. Tetamu yang hadir sebagian juga dari komunitas tuan rumah. Meskipun akhirnya pasangan gay tersebut ditolak warga dan diusir dari desa, tetapi sebenarnya tak bisa ditutupi pertumbuhan LGBT selalu ada.
Menurut salah satu teman aktivis yang tinggal di Boyolali, bahkan tahun 2015 lalu, ada sekitar 2000-an LGBT ada dan eksis di kabupaten yang terkenal dengan Kota Susu tersebut.
Sama seperti komunitas lainnya, mereka mempunyai tempat nongkrong , tempat untuk berkumpul sesama anggota komunitas , terutama saat malam Minggu.
Yang menjadi pembeda dengan sebelumnya, LGBT mulai merambah ke remaja. Tak tanggung-tanggung, dari remaja SMP, SMA mulai masuk ke dalam komunitas tersebut. Para LGBT yang awalnya lebih banyak ‘mencari teman’ ke sesame orang dewas, akhir-akhir ini melirik remaja. Kenapa remaja yang dipilih? Menurut teman saya, karena remaja lebih rentan, labil dan masih terus mencoba-coba hal yang baru. Daya tarik lainnya adalah, remaha mudah di bujuk. Gampang, hanya dengan modal sedkit biaya untuk memenuhi keinginan remaja seperti membelikan gadget merk terbaru yang harganya di atas Rp 4 jutaan dan membelikan pakaian yang lagi trend, mereka mampu meluluhkan hati remaja.
Bagaimana mengenali remaja yang ‘masuk’ komunitas LGBT?
Masih menurut teman saya, cara sederhana untuk mengenali remaja yang sudah masuk komunitas LGBT terutama yang G adalah dengan memperhatikan perubahan sikap, penampilan dan tentu saja asesoris yang dipakai remaja tersebut. Misalnya, tahu-tahu ia merubah penampilan, mempunyai HP mahal keluaran terbaru, pakaian bagus-bagus dan di saat ‘tertentu’ ia bersikap ‘lain’. Misalnya untuk remaja cowok menjadi remaja pesolek, rambut klimis, baju trendi, gaya bicara kemayu, bahkan ada remaja cowok yang memakai bedak, merubah alis mata, mengoleskan gincu. Baju yang biasa dirubah menjadi baju yang ngikuti trend, bawaannya HP terbaru dan canggih.
Mereka juga sekolah seperti biasanya, tetapi sekarang lebih gaul dan menjelma menjadi remaja masa kini yang gandung dengan trend busana.
Bagi orangtua, jika tidak menginginkan anaknya masuk komunitas LGBT, tak ada salahnya mengenali perilaku anak sejak dini. Barangkali bisa diminimalisir sebelum terlanjur jauh.