Persaingan di dunia kerja semakin banyak. Butuh keterampilan dan kemampuan tertentu agar bisa masuk ke dunia kerja bersaing bersama ratusan bahkan ribuan pekerja yang lain. Tentu saja menjadi tidak mudah untuk itu.
Manusia diciptakan dengan rejeki masing-masing. Tak usah putus asa, asalkan usaha, rejeki akan datang juga. Agaknya kalimat tersebut yang menginsipasi Ali, Tri, dan Andi. Tak patah semangat, ketiga anak muda ini lebih memilih menciptakan lapangan pekerjaan baru dbandingkan bersaing dengan ribuan pekerja lainnya. Selain ingin memberikan kesempatan kepada anak muda lainnya, mereka juga ingin mencoba pengalaman yang baru.
Mereka cerdik dan cukup jitu melihat peluang usaha yang belum banyak diminati oleh orang lain, menjadi penjahit jalanan. Ya, belum banyak yang mau membuka usaha penjahit jalanan, karena biasanya adanya penjahit rumahan.
Ali (24 tahun), Tri (26 tahun), dan Andi (20 tahun) pernah bekerja serabutan selepas sekolah. Ali yang tamatan SD pernah bekerja menjadi tukang batu, mengandalkan jasanya disewa oleh tetangga yang membutuhkan tenaganya saat membangun rumah. Tidak berbekal keterampilan khusus, hanya berawal dari ikut-ikutan tetangganya yang tukang batu. Karena tidak bisa menjadi andalan untuk mencari penghasilan, ia memiih ikut temannya belajar menjahit di Semarang. Demikian juga dengan Tri yang lulusan SD, tak mempunyai keterampilan khusus, memilih mengikuti temannya bekarja serabutan dari menjadi penjaga toko, menjadi buruh lepas sampai mengarjakan apa saja yang membutuhkan tenaga kasarnya.
Ali dan Tri, pemuda asal Boyolali ini, dipertemukan saat mencari nafkah di ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Mereka ikut menjahit temannya. Meskipun tidak mempunyai keterampilan khusus menjahit, dengan tekun mereka terus belajar. Bukan menjahit di rumah atau konveksi, tetapi ikut menjahit di atas trotoar, di pinggir jalan atau biasa disebut dengan penjahit jalanan.
Sementara Andi, lebih beruntung dari segi pendidikan, karena remaja asal Sragen ini sampai lulus SMP. Meskipun juga tidak melanjutkan sekolah karena terbentur biaya, ia memilih mencoba-coba bekerja serabutan dan mengadi nasib dengan tenaga kasarnya.
Pada akhirnya, Ali memilih berhenti ikut temannya di Semarang dan memilih kerja mandiri, mengadu nasib di Kota Solo. Bekal tabungan dari bekerja selama beberapa tahun ia gunakan untuk membeli mesin jahit bekas dan alat-alat menjahit seperti benang, rit, dlll seharga Rp 800.000. Kemudian ia mengajak Tri dan Andi untuk menjahit bersama. Tak butuh tempat khusus untuk menjajakan jasanya. Mereka memilih menjadi penjahit jalanan, yang menjahit di pinggir jalan, di atas trotoar jalan, di bawah kerindangan sebatang pohon mangga. Tepatnya di selatan underpass Makamhaji Sukoharjo, sekitar 200 meter atau arahnya ke barat dari Jalan Rajiman Solo.Â
Agar tidak ribet, mesin jahit dan alat-alat menjahit dititipkan di rumah salah satu penduduk, tepat di seberang jalan yang mereka gunakan untuk menjahit. Sangat murah, karena mereka hanya memberikan jasa Rp 25.000/bulan untuk 1 mesin jahit yang dititipkan. Tidak memberatkan, karena penghasilan mereka relatif lebih besar. Dalam sehari, satu orang bisa mendapatkan uang Rp 150.000, sementara kalau dikurangi untuk makan dan rokok, mereka per orang mengantongi penghasilan bersih Rp 80.000. Saat puasa dan lebaran penghasilan mereka berlipat, sampai Rp 300.000/hari/orang. Bisa dibayangkan betapa usaha yang mereka jalani bisa menjadi andalan untuk hidup.
Begitulah, ketiganya merasa cocok dan bersyukur bisa menciptakan lapangana pekerjaan baru tanpa membebani keluarga dan bisa menabung untuk keluarga mereka kelak. Kepuasan mereka bertambah saat pelanggan merasa puas dengan ayunan kaki saat mengerakkan roda mesin dan keterampilan tangan menjahit bagain pakaian yang perlu diperbaiki.