Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ku Temukan Cahaya-Mu

1 April 2015   13:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kehilangan seorang ibu bagaikan kehilangan belahan jiwa, pegangan hidup dan seberkas sinar yang selama bertahun-tahun menerangi jiwaku. Takada lagi yang kujadikan panutan. Tak ada tempatku berkeluhkesah. Tak ada lagi yang menghiburku dikala kesedihan menghampiri. Tak ada yang membangunkan dikala pagi hari dengan sebuah tepukan lembut.

Aku, Gibran, kehilangan ibu tercinta saat usiaku belum genap 11 tahun.Kami tinggal disebuah desa kecil di kota yang terkenal dengan ukirannya. Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, aku teramat dekat dengan ibu. Bahkan lebih dekat dibandingkan dengan ketiga kakakku.Aku biasa bermanja-manja dengan ibu. Seluruh waktu yang bergulir terasa hangat dan penuh dengan kebahagian selalu berada di dalam dekapan kasih sayangnya. Ibuku wanita super sibuk, selain mengajar di sebuah SD juga membuka usaha toko sembako di rumah. Setiap pagi selepas sholat subuh, ibu selalu mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah. Siang sepulang mengajar, tidak langsung ke rumah tetapi belanja ke pasar untuk kebutuhan toko sembako kami. Waktunya siang malam digunakan untuk bekerja dan bekerja tanpa merasa lelah. Sampai ibu tidak sempat memperhatikan kesehatannya. Hingga bisa jatuh sakit parah. Dokter memvonis ibuku sakit kanker. Aku shock melihat hari-hari ibu dilalui dengan kesakitan dan berjuang melawan penyakitnya dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya.Badannya dari hari ke hari kian kurus, pucat dan dalam hitungan bulan kelima sudah seperti tulang dibalut kulit. Tak ada lagikeceriaan selain sedan karena menahan sakit yang terus menerus tak bisa dihentikan.

Berbagai ikhtiyar sudah dilakukan, seperti pindah berobat ke rumah sakit di Kota Klaten dan Kota Yogyakarta yang lebih lengkap peralatannya. Namun penyakit ibu tidak membaik, semakin hari kondisinya semakin lemah.Seandainya bisa, aku pasti memilih untuk mengantikan rasa sakit dan penderitaan yang ibu rasakan. Meskipunaku masih kecil tetapi akutahu ibu sangat kesakitan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, karena harus sekolah, aku tidak bisa menemani ibu. Hanya nenek, yang setia menemani ibu.

Masih kuingat, 9 tahun yang lalu, tepat saat hari Jum’at, sesudah sholat jum’at, aku mendaparkan khabar kalau ibu sudah dipanggilNya. Aku menangis meraung-raung merasakan sebagian jiwaku hilang. Orang terdekatku sudah meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya. Dan aku tidak pernah menemani ibu disaat-saat terakhirnya. Bahkan senyum, dan tutur kata lembut ibu untuk yang terakhir kalinya tak mampu aku saksikan. Tuhan, kenapa kau panggil ibuku secepat itu? Kenapa tak Kau berikan kesembuhan? Sesalku dalam balutan duka.

**

“Gibran..CEPATTURUN! Dasar anak malas. Tak tahu diri!”

Aku menutup telinggaku rapat-rapat dengan bantal. Segaja aku tak mau mendengarkan panggilankasarbu Nar, istri ayahku. Hampir setiap hari istri ayahku selalu mengomel dan marah-marah tanpa ada penyebabnya. Bagaimana mungkin aku mau menurut apa katanya kalau dia sendiri juga tidak bisa kujadikan panutan?

Lima tahun sejak kematian ibu, ayahku menikah lagi dengan Bu Nar. Kami semua memanggilnya begitu tanpa tahu nama lengkapnya. Dan kami memang tidak mau tahu. Pernikahan itu juga tanpa minta persetujuan dari kami. Masih kuingat, pagi itu kami berempat diajak ayah bepergian. Tanpa banyak bertanya, kami ikut. Jarang-jarang ayah mengajak kami pergi. Terlalu banyak urusannya. Kami hanya bisa saling pandang, binggung, tak percaya dan tak bisa berbuat apa-apa saat diajak masuk ke Kantor Urusan Agama di Kabupaten Demak dan disana sudah menunggu seorang perempuan yang selama ini kami kenal sebagai pedagang pakaian keliling yang biasa berdagang di desa kami. Saat ayah dan Bu Nar berikrar didepan penghulu, air mataku tak bisa kuhentikan menganak sungai. Hatiku teriris. Aku merasa dikhianati dan sangat terluka.

Ayah terlalu terburu-buru menjatuhkan pilihan. Bu Nar,tidak seperti seorang istri dan perempuan seperti yang lain. Jarang sekali dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Justru ayah yang selama hidupnya tidak pernah mencuci piring dan gelas, mengepel, sekarang mengalih alih mencuci piring dan membersihkan rumah. Dimeja makan tidak pernah ada lagi makanan pengundang selera. Akudan kakakku setiap hari membeli makanan sendiri. Sementara Bu Nar membeli makanan untuk ayah dan dirinya sendiri.Sejak saat itu kami menjadi malas untuk membantu pekerjaan rumah. Bagaimana mungkin kami mau mengerjakan banyak hal sementara Bu Nar tidak sekalipun mengerjakan hal itu? Selain pemalas, Bu Nar juga cerewet dan suka mengatur. Rumah kami tidak pernah merasakan ketentraman semenjak Bu Nar hadir. Bahkan kakakku yang pertama memilihtinggal di kost karena tidak tahan terus berselisih.

“Gibran! Cepat! Dasar TOLOL!” maki Bu Nar sambil mengedor pintu kamarku.

Aku bangkit dengan memendam rasa marah.

“Bangun. Beres-beres!Kuliah!” perintah Bu Nar. Tangannya berkacak pinggang dengan muka berlipat-lipat.

“Nggak usah ngurus aku. Urus saja urusan Bu Nar sendiri.” Ujarku acuh tak acuh. Meskipun sudah menjadi istri ayahku tetapi kami tidak pernah memanggil dengan nama ibu.

PRANG!

Sebuah gelas melayang di lantai kamarku. Sisa kopi tadi malam memenuhi lantai.

“Cepat! Aku nggak peduli kamu kuliah atau tidak. Tapi kamu harus beres-beres rumah!” perintah Bu Narlagi terus berlalu.

Aku memandang istri ayahku dengan kebencian yang memuncak. Tabiatnya sangatlah jelek dan kasar, tak patut untuk seorang ibu. Duh, bagaimana mungkin ayah memilih perempuan seperti ini? Keluhku sekian kalinya. Berkali-kali aku berniat membunuhnya. Tetapi aku ternyata tidak seberani imajinasiku. Aku masih takut dosa dan dipenjara. Dan aku masih memnghormati ayahku, meskipun hubungan kami sudah sangat jauh. Yang ada hanya marah dan sesal yang terus mengumpal di dada.

**

Glek…glek….

Isi botol itu hampir habis, Tinggal tersisa beberapa teguk lagi. Ini sudahbotol ketiga yang dibuka. Tetapi kami terus saja minum. Tak peduli siang atau malam. Beberapa temanku sudah mulai sempoyongan dengan mata merah. Yang lainnya terus meracau sambil menenguk isi botol.

“Gibran, habisin saja,” kata Leo sambil mengangsurkan botol ketiga. “Nanti cari lagi, hehehehe..”

Akutertawa,mengambil botol dengan cepat dan menghabiskan dalam sekejap mata. Sebenarnya dadaku terasa nyeri. Mataku mulai perih. Kepalaku berat. Ribuan kunang-kunang mengelilingi kepalaku. Tapi tenggorokanku terasa dahaga terus, memaksaku untukterus minum. Meskipun sama sekali tidak enak, tetapi minuman setan ini mampu membantuku melupakan masalah yang kuhadapi. Berkumpul dengan teman-teman yang mempunyai masalah sama membuatku merasa lebih dihargai dan tidak lagi dibebani hal-hal yang membuatku hampir gila. Kadangkalu aku sadar, apa yang kulakukan ini tidak akan menyelesaikan masalah, justru menambah ruwet. Tetapi kemana lagi aku harus mengadu? Ayah dirumah sudah lama tidak peduli. Semua perhatian dan kasih sayang hanya ditujukan kepada istrinya. Sementara ketiga kakakku sibuk mencari pelariannya sendiri.

Saat Jose membuka botol keempat, pandangan mataku mulai kabur. Dengan kupaksakan akuberdiri untuk menyambut botol itu. Tapi entah mengapa lututku terasa berat. Badanku ringan dan terasa melayang. Perutku mulai seperti diaduk-aduk dan perlahanmulai naik. Dalam sekejap aku muntah-muntah berat. Bau tajam minuman alkohol menyeruak tajam membuat kepala semakin pening. Dan tanpa dapat kutahan, tubuhkujatuh berdebum di tanah.

**

Mataku terasa berat. Samar-samar aku melihat bayangan ibu sedang tersenyum dari jauh. Sekeliling ibu ada kabut tipis berwarna putih. Ibu kelihatan berseri-seri diantara kabut yang seakan menyelimutinya. Cantik dan muda. Tidak ada lagi tubuh kurus ringkih dengan wajah seputih kertas. Tidak ada nafas tertahan menahan penderitaan dan kesakitan.

Aku terpana dipenuhi kerinduan yang membuncah di dada. Bertahun-tahun aku selalu merindukan sosoknya hadir dan memelukku. Dengan berlari kecil aku menghampiri ibu. Kupeluk dia dengan segenap kasih sayang. Dekapan ibu yang penuh kelembutan dan cinta kasih membuatku terbuai. Hilang sudah rasa sakit yang selalu aku tahan. Pudar sudah rasa dendam dan kemarahan yang setiap saat membakar diriku. Aku hanyut.

“Alhamdulillah, sudah sadar,” samar kudengar suara disebelahku. Aku merasakan sebuah tangan hangat memegang tanganku dan mengusap dengan lembut. Meskipun tidak selembut ibu, tetapi perasaan kasih menjalar dari tangan keriputnya.

Kubuka mata perlahan. Silau sinar matahari menerobos korden kain yang berkibar tertiupangindari AC yang menempel di dinding membuatku menutup mata kembali. Kepalaku masih terasa berdenyut-denyut. Sakit. Ulu hatiku terasa panas terbakar.

“Gibran, bukalah matamu, le,”sebuah suara menyapaku lembut.

Kuberanikan diri untuk membuka mata, dengan menahan rasa sakit. Samar kulihat perempuan bersuara lembut itu nenekku. Ibu yang selalu disayangi mendiang ibuku.

“Nek,” sapaku berat. Mataku tidak mampu terbuka sempurna.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya nenek. Kali ini tangan tuanya mengusap dahiku.

Aku meringis menahan rasa sakit.

“Gibran dimana, nek?” tanyaku penasaran. Saat aku mengangkat tangan kulihat selang influs terpasang. Kesadaranku perlahan pulih. “Rumah Sakit?” tanyaku lagi.

Nenek mengangguk. “Sabar ya. Istirahatlah agar cepat pulih.” Ucap nenek lagi.

Aku mengangguk samar. Tak ingat bagaimana aku bisa berada di sini.

“Nek, apa yang terjadi?”

“Kamu tidak ingat? Kamu sakit. Sudah tiga hari kamu pingsan. Alhamdulillah kamu akhirnya sadar.” Mata nenek berkaca-kaca.

“Ti..ga..ha..ri? “ tanyaku heran. Aku sama sekali tidak ingat lagi. Yang terakhir kuingat aku berusaha meraih botol minuman tapi badanku terasa seringan kapas.

Le, setelah sembuh, tolong kamu jangan kembali lagi, ya. Jangan ulangi perbuatanmu. Jangan merusak diri sendiri,”pinta nenek terbata-bata. Sudut matanya mulai dibasahi cairan bening.

Aku hanya bisa menatap nenek dengan sedih. Tidak tahu apa yang akan kulakukan nanti. Tiba-tiba aku teringar ibu. Mataku mencari-cari ibu. Kosong. Hanya ada nenek.

**

Aku mengangguk dengan takjzim. Semua pelajaran penting hari ini meresap kedalam sanubariku. Semua kalimat pak Kyai tidak ada yang sia-sia. Aku telah menelaah dan mengendapkan dalam hati.

“Masih mau disini?” tanya pak Kyai saat melihatku masih terpekur menekuni terjemahan Al Qur’an.

Aku mengangguk.”Injih, Kyai. Saya masih butuh belajar,” ucapku sehalus mungkin.

Pak Kyai, pemilik pondok pesantren terbesar di pesisir utara itu hanya mengangguk. Tangannya mengusap rambutku. “Aku tinggal dulu ya.”

Njih, Kyai,” jawabku dengan hormat.

Hening. Tak ada lagi santri yang berada di masjid. Semua sudah kembali ke pondok, mungkin sudah terbuai dengam mimpi menyambut dinihari untuk berkumpul kembali di masjid menunaikan sholat tahajud. Mataku tak mau lepas terus mencari hakikat kehidupan ini dari keteladananNabi Muhammad.

Tiga bulan setelah keluar dari Rumah Sakit, aku melakukan banyak perjalanan ke berbagai kota. Aku berusaha mencari pencerahan hidup. Berbagai kota di pulau Jawa telah kudatangi. Satu sampai dua minggu biasanya aku singgah di pondok pesantren untuk menimba ilmu. Meskipun belum ada yang mempu menyentuh hatiku yang terdalam dan sanggup memberikan cahaya baru, tetapi setidaknya aku sudah meninggalkan komunitas lamaku. Tak ada lagi minuman keras, tak ada lagi nongkrong yang menghabiskan waktu dan mampu melupakan waktu ibadahku. Pencarianku berhenti di sebuah pondok pesantren di sebuah kabupaten di pesisir utara. Disinilah sekarang aku berada untuk membasuh khilafku dan belajar memahami hidup yang lebih hakiki.

Teng…teng…

Aku terkejut mendengar bunyi jam dinding besar di pesantern yang biasa membangunkan para santri. Jam dua, sebentar lagi para santri akan datang ke masjid untuk sholat tahajud. Aku berdiri, melemaskan otot-otot kaki dan punggung yang kaku. Saat hendak mengambil air wudhu aku melihat bayangan ibu mengenakan gamis panjang warna putih, tersenyum menatapku. Mata teduhnya terlihat bahagia. Alhamdulillah, ibu tampak diliputi rasa bangga. Kubalas senyum ibu dan lirih kulafalkan Al-Fathikah. Smoga engkau mendapatkan tempat disisiNya, ibu. Ucapku dengan segenap kerinduan.*****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun