Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Esok Masih Ada Harapan

12 Februari 2015   16:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

bag. 2.

Seperti biasanya Surip hanya bisa tersenyum mencoba menghibur anaknya. Meskipun pahit dan berat untuk diucapkan, Surip selalu berusaha membuat hati Wanti senang. Diraihnya anak semata wayangnya untuk duduk di pangkuannya. Dengan lembut diciumnya rambut Wanti.

”Nak, Bapak akan secepatnya membayar, tapi saat ini Bapak belum bisa. Itu buah-buahan masih banyak. Jadi Bapak belum punya uang. Tolong bilang sama Bu Guru ya, kalau Bapak pasti akan membayar. Sudah, sekarang Wanti main sana ya,Bapak mau mandi.”

Mata bulat Wanti seperti biasanya akan bersorak dengan penuh harapan mendengar janji Surip. Perlahan Wanti turun dari pangkuan Surip dan berlari keluar rumah.

Surip termangu dan menarik napas panjang. Tak tega hatinya untuk selalu memberikan harapan ke Wanti. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Anak sekecil Wanti belum bisa merasakan kondisi yang sebenarnya dari orang tuanya. Dari belakang, Marni istri Surip kelihatan kelelahan, berjalan menghampiri Surip kemudian duduk di kursi sebelah rotan yang sebagian besar anyaman rotannya mulai terlepas.

Surip merasa tidak tega, sedih dan prihatin melihat istrinya.Meski kelihatan serba kekurangan, Marnijarang sekali mengeluh kepada Surip. Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari, tenaga Marni sebagai buruh cuci baju yang saat ini selalu diandalkan. Surip merasa malu sekali dan merasa gagal sebagai seorang suami yang mestinya bisa membuat istrinya senang dan tidak membuat susah.

“Capek, Pak? Gimana dagangan Bapak hari ini?” tanya Marni, tetapi matanya segera melihat gerobak dagangan Surip yang ada di depan pintu. Surip tahu, Marni tidak butuh jawaban karena sudah melihat isi gerobak masih setengah lebih.

“Maaf Bu, Bapak tidak bisa memberi uang untuk beli beras. Uang hasil jualan hari ini untuk beli modal besok saja tidak cukup,“ jawab Surip parau. Matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan hatinya.

Marni tersenyum mendengar jawaban Surip. Mungkin Marni sudah hapal karena sudah ratusan kali jawaban seperti itu keluar dari mulut suaminya.

“Pak, Ibu bingung. Selain belum membayar tunggakan sekolah Wanti, tadi Pak Agus datang lagi ke sini. Hari ini dia marah besar, dan memberi waktu kita untuk membayar kontrakan paling lambat besok minggu. Kalau kita tidak bisa bayar, kontrakan ini akan diberikan ke orang lain.”

Surip tercenung, pikirannya semakin tidak karuan mendengar perkataan istrinya tadi. Sudah tiga bulan ini Surip tidak membayar uang kontrakan rumah. Meski sebulan hanya Rp 100.000,00 untuk menyewa rumah kecil berukuran 4x3 m yang berdinding papan ini. Surip sudah tidak mampu lagi. Duh, mau tinggal di mana anak dan istrinya kalau mereka terusir dari rumah ini? Ratap Surip pilu.

Untuk sekian kalinya Surip menghela nafas panjang. Mengingat itu semua hati Surip seakan sudah tidak kuat lagi. Sekali lagi dilihatnya gerobak yang berisi buah-buahan di depannya. Disapunya pandangan mata ke jalan. Hujan sudah tidak sederas tadi, tetapi masih rintik-rintik.

Kemudian Surip menghitung uang dari saku celananya. Ada selembar lima ribuan, enam lembar dua ribuan dan 3 lembar seribuan.

Hari ini Surip hanya mempunyai uang dua puluh ribu. Dia teringat tadi rujaknya hanya laku 5 porsi saja. Bagaimana aku bisa membayar uang sekolah dan sewa rumah? Keluh Surip dalam hati.

Pandangan matanya menerawang ke seberang jalan. Di seberang jalan berdiri megah bangunan Mall yang siang hari ini dipenuhi orang-orang. Di outlet makanan cepat saji terlihat orang-orang sibuk makan siang sambil bercanda-canda dengan wajah riang. Surip menahan air liurnya yang hampir menetes. Seumur hidup dia belum pernah masuk ke outlet itu apalagi makan makanan yang di jual di situ. Membayangkan saja dia tidak berani apalagi masuk untuk membeli. Tetapi bagi sebagian orang terutama yang saat ini makan di outlet makanan cepat saji tersebut, sepertinya mereka tidak merasa berat dan sudah terbiasa makan ditempat seperti itu yang harganya pasti sangat mahal. (bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun