Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Batas Kesabaran Seorang Istri

22 Januari 2015   18:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:36 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

bag. 2

Karjo tidak memperdulikan kata-kata Mumi, rnatanya terus terpejam, tetapi telinganya mendengarkan ucapan-ucapan Murni. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan dan terasa semakin berat. Kebutuhan-kebutuhan hidup yang antri di kepalanya terasa mau meledakkan kepalanya. Darahnya naik perlahan, tapi dia coba untuk menahannya.

Tiba-tiba terdengar rengekan Satrio meminta duit ibunya untuk jajan yang semakin membuat darahnya mendidih dan tak tertahankan.

Dengan hentakan keras Karjo bangkit. Matanya melotot merah, giginya menyeringai ,tangannya terkepal.

“Diam ! Duit lagi, duit lagi. Heh.. tuyul kecil, jangan teriak-teriak, apa kamu tidak tahu bapakmu mau tidur.”Karjo mengumpat marah.

Di bentak seperti itu membuat  Satrio menangis keras.

Mendengar lengkingan tangis anaknya, Karjo tidak malah iba, tetapi justru marahnya semakin menjadi-jadi. Diambilnya asbak di meja dan dilempar ke arah pintu. Prang, asbak pecah berkeping-keping

Satrio menjerit keras dan menghambur ke pelukan ibunya. Murni segera memeluk anaknya berusaha meredakan tangisannya. Murni tahu suarninya sangat berubah sikapnya, dan tak ada gunanya meladeni kemarahan Karjo dengan kemarahan karena Karjo pasti akan semakin kalap seperti biasanya. Dielus-elus punggung Satrio untuk meredakan tangisnya agar kemarahan Karjo tidak bertambah.

Bocah berusia 3 tahun itu terisak-isak di pelukan ibunya. Hati polosnya bertanya-tanya mengenai perubahan sikap bapaknya akhir-akhir ini yang sangat keras dan kasar kepada dirinya maupun kepada ibunya. Di pelukan dan elusan ibunya yang penuh kelembutan, tangis Satrio mulai mereda. Setelah tangis Satrio mereda Murni segera membisikkan sesuatu ke telingga Satrio, dan tak lama kemudian bocah kecil itu melangkah keluar rumah dengan mata berbinar-binar. Murni meminta Satrio untuk bermain keluar, menghindari kemarahan bapaknya.

“Mas Karjo, berapa kali aku katakan ,apapun yang terjadi dengan diri mas jangan sekali-sekali Satrio menjadi sasaran kemarahan terus. Kasihan dia mas…” Kata Murni sambil tanganya sibuk memunguti pecahan-pecahan asbak di depan pintu.

“Perempuan lancang, kamu saja yang tak becus mengurus anak. Apa kerjaanmu seharian sementara suaminya bekerja keras membanting tulang mencari uang heh ? Dasar perempuan tak tahu diri,”umpat Karjo.

Murni ketakutan, tangannya gemetar.

“Mas, kamu lelah. Sebaiknya mas Karjo istirahat saja di dalam, aku akan siapkan sarapan dan kopi untuk mas,” Murni berusaha tidak memperdulikan kemarahan suaminya.

“Mur, mana uang dari ibumu kemarin, sini aku butuh.”

Mumi tak pedulikan pertanyaan suaminya, dengan bersikap biasa dia melangkah ke belakang.“ Aku akan siapkan sarapan dulu mas,”

Merasa tak diacuhkan istrinya Karjo menjadi murka, tiba-tiba tangannya terulur dan Murni tak sempat menghindarinya Plak, plak, plak.

Untuk kesekian kalinya hati Murni terasa teriris-iris pedih. Pipinya terasa panas dan sakit tetapi hatinya lebihsakit. Pagi ini sudah puluhan kali seperti pagi yang sama dirinya dihina oleh Karjo. Betapa sakit hatinya selama beberapa bulan ini, sampai mata Murni tak kuasa lagi menitikkan air mata. Airmatanya seakan telah kering karena terlalu banyaknya dia mengeluarkankannya, menyesali nasib yang menimpa pada dirinya, pada ke1uarganya.

Penderitaan demi penderitaan yang menimpanya karena ulah suaminya sudah tak terhitung lagi.

Karjo berdiri dari kursinya, dengan menyeret langkah dia keluar rumah dan meninggalkan rumahnya tanpa berkata sepatah katapun. Murni memandangnya kosong tanpa bertanya dan mencegah kepergian Karjo. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun