Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Antara Dua Hati

4 April 2015   08:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah sudah berapakali Aisyah harus menahan rasa nyeri di dada. Tak terhitung lagi banyaknyapertanyaan, sindiran, teguran baik secara halus maupun kasar. Semua sama, meragukan kemampuan Aisyah untuk mendapatkan jodoh. Setiap berkumpul dengankeluarga besardan tetangga Aisyah hanya mampu menahan tangis saat semua kalimat-kalimat menyakitkan tidak mampu dia jawab. Hanya senyuman tipis yang dia tunjukkan untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada. Ya Alloh, berikan kesabaran pada hambaMu ini, pinta Aisyah selalu dalam do’nya. Apalagi saat mendapatkan undanganakikah anak sahabatnya. Betapa hancur hati Aisyah karenasemua teman lama yang seusia dirinya sudah berkeluarga,bahkan mempunyai beberapa anak.

“Bu, ada undangan.” kata Pak Min, office boy dikantor tempat Aisyah bekerja.

“Tolong letakkan di meja, pak. Makasih ya,” jawab Aisyahtak lepas dari layar laptop di mejanya.

Aisyah beranjak dari kursinya dan menimang selembar kartu undangan ditangan. Ada keraguan untuk membuka undangan itu.Hatinya berdesir nyeri mengingat undangan yang akan dia baca pasti hanya akan menambah kesedihannya saja. Kapan aku bisa membuat undangan seperti ini? Batinnya sedih.Matanya luruh saat membacasurat undangan berwarna pink.Bahkan Santi,salah satu teman lama yang senasib dengan dirinya, merasakan diolok-olok, lama menanti jodoh, sudah mendapatkan tambatan hati. Seminggu lagi mereka akan naik pelaminan. Duh, Santi, akhirnya jodohmu datang juga. Ada rasa bahagia merasakan kebahagaiaan sahabatnya, sekaligus kesedihan. Sampai saat ini hanya dirinya yang belum juga bertemudengan belahan jiwa.Sindiran perawan tua yang tidak laku-laku pasti akan kembali dia dengar.Santi terpekur dalam diam. Mukanya dibenamkan dalamjilbabbirunya. Ya Alloh, rasanya saya sudah banyak intropeksi diri dan merubah sikap. Adakah yang masih kurang? Apakah kali ini saya harus menyerah lagi dalam perjodohan yang diatur orangtua saya?

Banyak yang merasa heran kenapa sampai sekarang Aisyah belum mendapatkan jodoh. Padahal dia terlihat sempurna sebagai seorang wanita. Tubuhnyaramping dengan kulit putih bersih. Wajahnya cantik ditambah dengan sikap ramah dan murah senyum.Dengan pekerjaan mapan dan penghasilan yang cukup tinggi bagi wanita mandiri seperti dirinya, rasanya mustahil tidak ada yang tertarik. Selain itu, Aisyah juga perempuan yang menjaga dirinya baik-baik. Dengan jilbab yang selalu menutupi badannya, pancaran perempuan sholihah dan alim tidak lepas dari dirinya.Beberapakali ada yang tertarik dengan Aisyah. Tetapi lebih sering tidak pernah berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi.Pria-pria yang mendekatinya selalu ingin melakukan pengenalan lebih jauh dengan berpacaran. SementaraAisyah menolak konsep pacaran. Baginya berpacaranboleh dilakukan kalau sudahmenikah, sudah halal. Kalau mau serius baru Aisyah berminat mengenal lebih dekat. Aisyah tidak pernah putusasa, dia pernah mencoba untuk mencari jodohnya dengan bantuanmedia.Lebih dari sepuluh pria yang memutuskan untuk bertemu dengannya, tetapi lagi-lagi tidak ada yang cukup serius. Kalau ada yang serius sudah beristri atau sikapnya tidak terlalu baik. Setelah itu, Aisyah kapok untuk berkenalan lewat media.Kenalan dari teman-temannya yang mencoba menjadi mak coblang juga tidak terlalu berhasil. Dua kali Aisyah juga gagal berumahtangga dengan jodoh yang dipilihkan orangtuanya. Yang satu ternyata kembali kepada mantan istrinya dan satunyalagi ternyata mengaku tidak akan mempunyai keturunan karena divonis mandul.

Tuit…tuit….tuit…..

Aisyahtergagap saat mendengar ponselnya berbunyi.

“Assalamu’alaikum, ya , halo,” sapa Aisyah sambil mengeringkan butiran bening di pipinya.

“Wa’alaikumsalam. Halo Ais, apa kabarmu?”

“Alhamdulillah, baik. Maaf ini siapa?” tanya Aisyah ragu-ragu.

“Hei, lupa suaraku? AkuSanti,” jawab suara diseberang.

“ Ya Alloh, kamu, San. Nomermu ganti, ya?

“Hehehe, nggak kok. Ini nomer calon suamiku. Eh, Ais, undanganku sudah diterima? Jangan lupa datang ya. Harus datang,”

“Eh, iya. Sudah. Baru saja. Selamat ya, San. Aku ikut senang. Eng..tapi…”

“Nggak ada tapi-tapian, pokoknya HARUS DATANG. “

“Gimana ya? Insya Alloh, San. Mudah-mudahan tidak ada acara mendadak.”

“Ku tunggu, ya. Aku juga selalu mendoakan semogakamu segera menyusul,” kata Santi mengakhiri pembicaraan.

Amin, kata Aisyah dalam hati. Betapa inginnya semua itu tidak hanya ada dalam khayalannya.

**

Aisyah duduk dengan perasaan gelisah. Dia hanya bisa menundukkan muka. Berkali-kali ayahnya harus memberikan isyarat agar dia mengangkat muka, untuk menunjukkan kecantikan.Ibunya tersenyum menguatkan hati Aisyah.Tidak ada kebahagiaan bagi seorang ibu selain melihat putrinya bahagia. Meskipun ibu tidak setuju dengan perjodohan yang diatur suaminya, tetapiibu juga tidak sampai hati melihat Aisyah belum juga mempunyai pendamping hidup. Kedua adik perempuan Aisyah sudah mempunyai anak, sementara sampai saat ini putrisulungnya masih tetap sendiri.

“Mereka sebentar lagi pasti datang. Kemungkinan jalanan macet,” kata pakde Umar memecah kesunyian. Pakde tidak bisa menyembunyikan kegelisahan karena sampai mendekati waktu yang dijanjikan untuk bertemu dengan calon suami Aisyah, tetapi tamu mereka belum kunjung memberikan khabar.

“Bapak nyakin?” tanya bude menyakinkan suaminya, yang dijawab pakde dengan anggukan kepala.

“Iya, mas. Pasti tamu kita sedang dalam perjalanan kemari. “ sahut ayah berusaha optimis. Ayahlah yang membujuk Aisyah untuk menerima pinangan lelaki anak teman jauh paman yang belum pernah dia temui.Hanya berdasarkancerita dari paman, ayah menyakinkan Aisyah bahwa Harun lelaki yang tepat untuknya. Lulusan Kairo, pintar, dari keturunan baik-baik,rajin ibadah dan mengelola pondok pesantren. Di mata ayah, Harun calon mantu yang ideal. Tak bisa diragukan lagi, apalagi Harun juga sudah siap menerima Aisyah apa adanya. Meskipun umur Harun lebih muda dua tahun dari Aisyah tetapi itu tidak menjadi penghalang bagi Harun.

“Insyaalloh sebelum usiamu tepat 40 tahun, kamu sudah menjadi seorang istri, nduk,” bisik ibu sambil mengelus kepala Aisyah dengan rasa sayang. Selama ini Aisyah selalu dihantui rasa bersalah karena belum juga menikah. Ibu selalu menghibur dan mengatakan kalau Alloh sudah mengatur semua jodoh hambaNya. “Yang sabar, tawakal dan jangan lupa usaha terus ya, nduk. Insya Alloh jodohmu tidak akan lari kemana-mana,” begitu selalu kalimat ibu untuk menenangkan hati Aisyah yang gundah.

Jam dinding menunjukkan angka sepuluh. Tepat sesuai dengan janji dari pihak keluarga Harun untuk datang bersilaturahmi. Pakdesudah tidak sabar lagi dan meraih ponselnya.

Tuit..tuit…..

Pakde memandang ayah dan mengangkat ponselnya setelah memberikan isyarat kalau panggilan telepon berasal daritamu yang sudah ditunggu-tunggu.

Ibu melihat Aisyah dengan gelisah. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres. Tanpa banyak kata, ibu memeluk bahu Aisyah dengan rasa sayang.

“Mereka sebentar lagi sampai. Alhamdulillah, “seru pakde gembira.

Ayah mengucapkan rasa syukurnya. Ibu memeluk Aisyah. Bude dengan cepat kebelakang untuk melihat persiapan hidangan .

Sekitar 15 menit kemudian rombongan tamu yang ditunggu tiba. Harun diantar kedua orangtuanya dan pamannya saling mengenalkan diri. Aisyah tidak berani untuk memandang tamu yang datang. Baru setelah orangtuanya mengenalkan dirinya, dia berani menatap Harun dengan malu-malu. Sekilas Aisyah bisa menilai, Harun lelaki yang ramah, santun dan baik. Dari perbincangan dengan ayah dan paman, pengetahuan tentang akidah juga bagus. Meskipun Aisyah belum merasakan getaran di hati, tetapi dia bersedia untuk mengenal Harun lebih jauh lagi. Dia berjanji dalam hati untuk mengikuti kemauan ayah dan ibu.

“…..tetapi satu hal yang perlu nak Aisyah ketahui. Harun saat ini statusnya..” kalimat ayah Harun segaja tidak dilanjutkan. Wajahnya memandang Aisyah, ayah, ibu, pakde dan bude bergantian. Ada beban berat yang dirasakan.

Aisyah meremas tangan ibu, menghela nafas dan mencoba untuk bersikap tenang. Ibu gelisah, tiba-tiba dia merasa kasihan dengan Aisyah.

“Ma’af, pak,bu. Sebenarnya Harun sudah beristri.”

BLARR……

Jantung Aisyah seakan berhenti berdetak. Wajahnya pias. Hatinya tiba-tiba terluka. Ditatapnya wajah pakde yang diam tak bergeming. Secara tidak sadar Aisyah akan meluapkan emosinya. Tetapi sedetik kemudian dia tersadar. Hatinya luruh dengan kepasrahan. Sambil beristifhar, Aisyah menata hati agar lebih tenang dan sabar. Pasti ada penjelasan yang belum selesai disampaikan, batinnya.

“Harun sudah menikah selama lima tahun, setelah selesai kuliah. Hanya saja sejak setahun yang lalu, kami baru mengetahui kalau istrinya ternyata tidak bisa mempunyai keturunan. Kami minta Harun untuk menikah lagi. Dan baru kali ini Harun setuju untuk menikah dengan Aisyah.” Jelas ayah Harun panjang lebar.

Ayah dan ibu menyerahkan keputusan kepada Aisyah.Keluarga Harunpamit pulang setelah Aisyah dengan santun minta waktu untuk berpikir dan bertemu dengan istri Harun.

Aisyah hanya bisa menangis saat dirinya sendirian di kamar. Tidak pernah terbersit dipikirannya untukmenyakiti perempuan lain apalagi mengambil suami orang. Aisyah bisa merasakan kesedihan dan sakitnya hati istri Harun jika suaminya menikah lagi. Dan apakah dia juga rela menjadi istri kedua? Batin Aisyah sedih. Berkali-kali Aisyah melakukan sholat isthikaroh, dan berkali-kali juga batinnya lebih tenang. Apalagi setelah bertemu langsung dengan istri Harun. Perempuan lembut itu mengaku meminta suaminya untuk menikah lagi, dan Aisyah adalah perempuan yang tepat untukmendampingi Harun. Inikah takdir saya? Batin Aisyah pasrah sambil berurai airmata.

*

Aisyah tersenyumlembut saat suaminya mengelus perutnya yang membuncit. Ada rasa haru yang terus menyelimuti hatinya melihat sikap suaminya yang sangat lembut dan penyayang. Ingin rasanya menghabiskan waktubersama Harun sambil menunggu buah cinta mereka menyapa dunia.Tetapi dia tidak mau menjadi perempaun egois dan merampas kebahagiaan perempuan lain.

“Abi, sudah sore. Sebaiknya Abi bergegas. Kasihan kak Zahra. Umi insyaalloh akan menjaga ananda dengan baik,” kata Aisyah lembut sambil menepuk bahu suaminya.

Harun memandang Aisyah dengan keharuan yang tidak bisa dia sembunyikan. Hatinya trenyuh melihat keiklasan Aisyah. Harun mencium perut dan kening Aisyah sebelum berpamitan.

Aisyah memandang kepergian suaminya dengan seulas senyuman. Dia sudah cukup bahagiabersanding dengan suami yang sholeh dan sebentar lagi mempunyai anak yang selalu diidamkan diusianya yang memasuki empatpuluhtahun. Tak pantas rasanya kalau dia hanya merasakan kebahagiaan itu sendiri. Kak Zahra juga berhak mendapatkan kebahagiaan yang sama seperti saya, batinnya.

Aisyah membelai perutnya saat merasakan tendangan kaki disebelah kanan perut. Si jabang bayi sepertinya setuju dengan uminya. Ya, Abi Harun tidak hanya milik umi-nya saja. ***

Sebutan untuk kakak laki-laki dari orangtua

Panggilan untuk istri pakde atau kakak perempuan dari orangtua

[3] Sebutan untuk anak perempuan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun