(Bag 3)
Tuanku datang memakai kaos merah menyala seperti yang aku lihat di jalanan tadi. Kepalanya diikat kain merah pula. Wah, gagah sekali Mas Faris siang ini. Aku bangkit dari tidurku, dan seperti biasanya kuhampiri mas Faris. Dia langsung menyambutnya. Kulihat wajah Mas Faris berseri-seri, nampak senang.
Melihatku, Mas Faris hanya melirik sedikit, tak membelaiku sepeti biasanya, membuatku heran. Dia malah memandang Poni dan. tersenyum. Aku semakin mendongkol kesal. Tapi itu tidak lama, karena sesaat kemudian Mas Faris jongkok mengusap-usap tengkukku.
"Ha... ha ... ha ... aku hanya mau menggodamu Coki. Sini-sini. Tahu nggak Coki, aku tadi kampanye di jalan sana bersama kawan-kawan. Wah, sambutan masyarakat benar-benar luar biasa. Aku senang," kata Mas Faris sambil membelaiku.
Aku hanya mendengus-denguskan hidungku mendengarkan cerita Mas Faris yang bersemanggat. Tangan Mas Faris kujilati, pertanda aku mengerti dengan apa yang dia maksudkan.
"Sudah sana, tuh Poni menunggumu," Mas Faris masuk ke dalam.
Aku tersenyum, kemudian kembali ke halaman dan berbaring di sebelah Poni lagi.
"SSttt ... Coki, Mas Faris gagah yach siang ini," kata Poni.
Aku cemberut mendengar pujian Poni. Cemburu rasanya karena pacarku memuji laki-laki lain di depanku.
"Tentunya dia tadi juga ikut kampanye. Eeee, iya tadi memang Mas Faris kudengar ngomong begitu yach," tambah Poni.
Aku jadi membayangkan Mas Faris berada di tengah-tengah rombongan massal tadi.
"Ramai sekali yach kalau mulai ada kampanye-kampanye. Kita akan sering saksikan lautan merah, lautan hijau dan lautan kuning, lautan biru dan banyak lagi ... " kata Poni.
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Angin siang berhembus sejuk nembawa kantuk. Tapi aku justru tak merasa mengantuk karena tertarik dengan penjelasan Poni.
"Lho, memangnya akan ada kampanye lainnya?" Aku mulai lancar mengucapkan kalimat kampanye.
"Aku dengar memang begitu."
"Tapi Pon, tahun yang lalu kalau tidak salah sudah ada lautan kuning," kataku ketika teringat setahun yang lalu warna kuning menyolok mata ada di mana-mana. Hanya kuning, tak ada yang merah ataupun hijau. Tembok rumah kuning, pagar kuning.
"Yach itulah karena kecurangan salah satu kelompok tertentu untuk memenangkan pemilu hingga membuat kecurangan dengan kampanye terselubung. Itulah politik! Itu sih kata Mbak Sonia yang sering aku dengar dari diskusi-diskusi dengan kawan-kawannya," jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu kok pinter dan wasis gitu tho, Pon?"
"Mbak Sonia kan sering diskusi sama kawan-kawannya. Kadang dengan Mas Faris lo kalau pas ke sana. Jadi aku sering mendengarkan dan jadinya tahu, “jawabnya bangga.
Mas Faris memang sering ke rumah Mbak Sonia, pacarnya yang cantik itu.
“Coki, mosok Mas Faris nggak diskusi kalau di rumah,” tanya Poni sambil menatapku.
Aku diam tak menjawab. Sebenarnya Mas Faris sering diskusi dengan kawan-kawannya. Saking seringnya sampai nggak kenal waktu. Nggak siang, nggak malam, mereka diskusi. Malah sering dari malam sampai pagi mereka tak tidur karena diskusi yang belum selesai. Tetapi selama ini aku selalu malas untuk ikut mendengarkan.
"Coki, bagaimana pendapatmu tentang kampanye terselubung itu?”
Aku malu karena tak bisa menjawabnya, karena tak tahu apa yang mesti aku jawab. Aku menyesal karena selama ini tidak pernah belajar dari Mas Faris. Dan sekarang Poni, pacarku ini mengajak diskusi tapi aku tak bisa nyambung dan tak bisa meresponnya.
"Eh Coki ... "
"Sorry Pon, aku tidak tahu banyak. Kalau menurut pendapat kau gimana?" tanyaku menutupi rasa malu.
"Yach ... kalau menurut aku tidak benar. Masak rakyat ditipu dan dimanfaatkan dengan kampanye terselubung itu. Itu provokasi yang nggak benar dan nggak pada tempatnya."
Telingaku terasa ganjil mendengar istilah asing yang diucapkan Poni.
"Provokasi itu mempengaruh," lanjut Poni seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku semakin kagum kepada Poni yang rasanya semakin hari semakin cerdas dan pengetahuannya semakin luas. Sementara perutku terasa kroncongan, aku ingat tadi pagi lupa menyentuh sarapan yang disediakan Mas Faris. Kerongkonganku juga terasa kering karena haus.
"Coki ... Coki ..."
Dari dalam rumah kudengar suara khas milik Mas Faris memanggilku. Kulihat Mas Faris sudah sudah berdiri di teras rumah dan matanya memandangku yang terbaring di bawah pohon. Melihat Mas Faris, aku bangkit.
"Poni, aku masuk dulu yach. Mas Faris memanggilku," kataku pamitan pada Poni.
Poni bangkit dari tidurnya. "Ya Coki, aku juga mau pamit pulang. Kasihan kalau Mbak Sonia nanti mencariku."
"Nanti ketemu lagi yach, Pon," pintaku.berharap.
Poni menganggukan kepalanya dan berjalan pulang.
|
Tiga hari menjelang pemilihan umum, Mas Faris pulang ke Aceh. Ia ingin menggunakan hak pilihnya di kota asalnya sana, sekalian bermaksud mengurus surat-surat ijin pernikahannya dengan Mbak Sonia.
Seminggu yang lalu Bapak mengirimkan telegram agar Mas Faris segera pulang untuk mengurus pernikahannya. Aku ikut merasa bahagia karena pada akhirnya Mas Faris berhasil menundukkan hati kedua orang tua Mbak Sonia untuk merestui rencana pernikahan mereka. Pada mulanya kedua orang tua Mbak Sonia tidak mengijinkan karena menginginkan mbak Sonia menyelesaikan terlebih dahulu kuliahnya di program S2, dan menginginkan Mas Faris wisuda dulu. Tetapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah,mereka berhasil menyakinkan hati orang tua Mbak Sonia.
Karena Mas Faris nggak mungkin membawaku pulang, aku dititipkan di rumahnya Mbak Sonia. Tentu saja aku sangat bahagia dan merasa beruntung karena aku akan selalu dekat dengan Poni. Tentu menyenangkan sekali kalau tiap hari bisa berkumpul dengan Poni yang cantik, dan akupun juga nyakin kalau Poni juga akan merasa senang.
Mas Faris meninggalkan aku dengan pesan-pesan yang cukup banyak.
"Coki, selama Mas Faris nggak ada, kamu nggak boleh nakal. Jangan ngeluyur terus, Nggak boleh masuk rumah dengan tubuh kotor. Kamu harus bantu Poni jaga rumah, dan kalau dimandikan jangan nakal, nggak boleh bandel kalau mandi."
Aku cemberut dan memaki dalam hati dikatakan suka ngeluyur dan bandel kalau dimandikan. Mas Faris nggak mau menjaga perasaanku, masa dia ngomong seperti itu di depan Poni dan Mbak Sonia, wah bisa ngurangin pointku di mata mereka tentu saja.
Poni hanya meringis dan meleletkan lidahnya mengejek, membuatku malu.
“Iya tuh, si Poni kadang rewel juga kalau dimandikan. Mungkin ntar kalau mandi bareng-bareng Poni nggak rewel lagi," kata mbak Sonia
He ... he ... he ... kujulurkan lidahku, gantian mengejek Poni. Satu-satu kataku, yang disambut Poni dengan tersipu malu.
Mas Faris masih sibuk dengan pesan-pesannya padaku. Cerewet, gerutuku malas. Dasar manusia, banyak peraturan.
"O ya Nia, setelah aku selesai mengurus persyaratan pernikahan kita aku akan segera kirim kabar ke Yogya," kata mas Faris.
Syukur, batinku lega karena Mas Faris sudah selesai memberiku 'wejangan‘.
"Faris jadi di rumah satu minggu?" tanya Mbak Sonia.
"Ya minimal satu minggu. Tapi kalau belum selesai urusannya, yah mungkin bisa lebih lama di rumah,” jelas Mas Faris sambil tangannya mengambil kedua tangan Mbak Sonia, membawa ke pangkuannya dan mengusap-usapnya dengan penuh kasih sayang.
Aku menjadi iri dengan kemesraan mereka. Kulirik Poni yang duduk di bawah kaki Mbak Sonia. Aku ingin tahu apa reaksi Poni melihat tuannya bermesraan. Tetapi agaknya aku harus kecewa, karena kulihat Poni cuek saja dan sama sekali tidak mau melihatku. Huh, pura-pura nggak lihat, gerutuku jengkel melihat Poni yang menurutku—sok.
"Nggak apa-apa kalau memang di rumah harus lama. Yang panting jangan lupa kirim kabar dan cepat kembali kalau sudah selesai. Masih banyak yang harus kita kerjakan di sini. Kita masih sibuk dengan kerja-kerja setelah pemilu berakhir, dan resources kita masih terbatas."
Aku paham dengan pembicaraan mereka. Kudengar memang untuk pemantauan pemilu yang selama ini ada kecurangan, Mas Faris dan kawan-kawannya membentuk komisi independen untuk pemantauan pemilu yang disebut Mbak Sonia tadi. Senang rasanya ikut menyaksikan kesibukan kerja-kerja manusia manusia itu. (bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI