Barangkali pejabat yang bersangkutan merasa sudah mengunakan lama dan merasa itu miliknya sehingga saat pindahan ‘lupa diri’ dan pada akhirnya membawa barang aset Negara tersebut. Padahal smestinya ya ditinggalkan. Bisa jadi pejabat tersebut juga yakin kalau pejabat baru tidak akan mau mengunakan barang bekas karena ada anggaran untuk pembelian barang-barang, sehingga diyakini barang akan mubadhir hehe. Akhirnya di bawa sajalah (begitulah kira-kira dipikiran mereka).
Artinya masuk akan kalau RS juga khilaf dan membawa barang-barang milik Kemenpora tersebut.
Kedua, rasanya tidak masuk akal kalau barang-barang tersebut dikirimkan ke rumah RS di Yogya tanpa sepengetahuannya.
Seperti yang di sampaikan RS, ia menyatakan bahwa“Ketika saya sampai di Yogyakarta, ‘Loh, kok ini ada barang-barang yang bukan milik saya?’ Jadi sebelum Kemenpora sadar, saya sudah tahu ada beberapa barang yang bukan milik saya. Langsung saya kirimkan saat itu juga.”
Kalau RS tidak memerintahkan barang dikirim ke yogya, lantas apakah barang tersebut menyelonong sendiri ke alamat rumah RS di Yogya? Logikanya para stafnya ya nggak berani mengambil keputusan sendiri untuk mengirimkan barang tesebut tanpa sepengetahauan bosnya. Jadi ,bisa dikatakan RS-lah yang meminta barang tersebut di kirimkan ke kediaman pribadinya.
Ketiga, barang di duga dibawa RS cocok untuk profesi RS
Barang yang diduga dikuasai RS antara lain peralatan antena SHF/parabola jenis Jack 7 200, lensa Accam Lens NKN afs 200-400, dan komponen alat pemancar. Kalau melihat profil RS saat itu sampai sekarang, selain politikus ia adalah dosen, pemerhati TI, Multimedia, maka gampang diduga bahwa barang-barang yang diduga di bawa itu adalah barang yang memang di butuhkan oleh ybs. Barang tersebut bermanfaat dan menunjang profesi RS. Nah, jadi klop sudah dengan dugaan bahwa barang tersebut memang di bawa.
Jadi, saya rasa, IN tidak asal tuduh dan berani memperdebatkan dugaan barang aset Negara yang dibawa RS tersebut.
Satu lagi, jika memang RS terus mengelak, mestinya Menpora IN memberikan bukti-bukti agar RS tidak bisa mengelak lagi. Misalnya dengan bukti surat penyerahan barang aset Negara. Mestinya saat RS meninggalkan jabatan dan rumah dinasnya, ada surat penyerahan barang aste Negara yang diserahkan RS kepada Negara. Nah, mestinya ada proses pencocokan data tersebut dengan barang yang ada. Nah, apakah RS sudah melakukan itu? Kalau tidak ada, bisa disinyalir memang RS tidak /belum menyerahkan barang-barang yang ‘hilang’ tersebut.**
_Solo, 21 Juni 2016_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H