Ibu Eni , seorang pedagang warung makanan di Kota Serang, sampai jatuh sakit setelah dagangan makanan di warungnya di sita petugas Satuan Polisi Pamongpraja (satpol  PP)  Pemkot Serang, Banten beberapa hari lalu. Ibu yang bersahaja tersebut tidak kuasa menahan kesedihan dan tidak bisa berbuat banyak saat sejumlah petugas Satpol PP  mengosongkan beragam lauk yang dimasaknnya sedari pagi ke dalam plastik dan menganguktnya ke dalam mobil. Teriakan, permohonan , dan derai air matanya tidak kuasa membatalkan niat petugas  untuk membatalkan eksekusi barang dagangan.
Pada akhirnya ia hanya mampu menatap petugas berseragam tersebut membawa seluruh  harta bendanya yang hari itu akan di jual. Dengan gemetar dan terus berurai air mata, Ibu Eni  meninggalkan warung kecilnya  yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal , untuk minta tolong tetangga menelpon suaminya, yang no telpon suaminya tidak ia ketahui karena ia tidak bisa baca tulis.
Kisah memilukan Ibu Eni, perempuan asal Tegal Jawa Tengah yang merantau di Serang sejak 6 tahun lalu tersebut, hanyalah satu dari sekian kisah  pilu yang sama yang menimpa puluhan bahkan mungkin ratusan pedagang  kecil seperti dirinya. Pedagang kecil yang modalnya pas-pasan dan biasa bekerja untuk hidup hari ini,  dan modal untuk esok hari berjualan. Dengan  mengatasnamakan menegakkan peraturan, Satpol PP telah merengut setiap tetes keringat yang dikucurkan  para pedagang kecil tersebut.
Toleransi yang Salah Kaprah
Toleransi memang hal yang sangat indah dan itulah yang selalu di pegang bangsa kita yang  terdiri dari beragam agama dan kepercayaan, suku bangsa, ras, dan beragam perbedaan lainnya.  Tanpa toleransi, kerukunan antar umat beragama, ras, suku sulit akan terwujud.
Saya kira , semua orang sependapat bahwa toleransi itu penting di dalam kehidupan bernegara kita. Tetapi memaknai toleransi juga  tidak boleh asal-asalan, tidak boleh salah kaprah. Dalam keberagaman di Negara kita, toleransi janganlah dipahami hanya dalam makna yang sempit.  Saat pemerintah daerah membuat aturan yang menekankan warganya untuk menghormati orang yang sedang berpuasa di bulan ramadhan, kiranya juga tidak dengan cara yang salah kaprah.  Seperti yang terjadi di Kota Serang dan beberapa kota/kabupaten lainnya,  ada aturan  larangan warung makan buka  disiang hari.  Saya kira itu berlebihan.
Untuk menghormati orang yang sedang puasa di bulan Ramadhan, tidak harus dengan melarang warung makan buka di siang hari. Toh kalau dirunut lebih dalam,  warung makan  yang buka di siang hari juga dibutuhkan, tidak hanya untuk orang non Islam yang tidak puasa. Tetapi bisa jadi orang islam juga membutuhkan karena tidak semua orang islam berpuasa di bulan Ramadhan, misalnya saat sakit, ibu menyusui, anak-anak, orang tua, orang yang terganggu jiwanya, dll.
Justru, mestinya agama Islam yang ajarannya penuh dengan toleransi , memberikan penghormatan dan toleransi yang tinggi kepada orang-orang non Islam. Biarkan warung makan buka di siang hari, Â beraktivitas seperti biasanya, toh bagi yang memang berniat dengan sungguh-sungguh dan ikhlas untuk beribadah puasa, tidak akan mungkin tergoda dengan hanya melihat makanan di siang hari. Justru mestinya dianggap itu sebagai cobaan yang akan mempertebal iman.
Bu Eni Korban Ketidakmampuan Pemda dalam Menafsirkan Tolerensi
Bahkan dari penuturan Ibu Eni dan reporter Kompas petang (mengutip  live kompas petang), warung ibu Eni saat razia dilakukan dalam kondisi di tutup pintu depannya. Ibu Eni meskipun tidak  tahu kalau ada larangan berjualan di siang hari saat bulan ramadhan,  dengan kesadaran memilih menutup pintu  depan  warung  makannya  dan membuka pintu samping . Artinya , jelas warung ibu Eni tidak dibuka. Ia memasak siang hari dan berniat berjualan di sore hari  dan hanya pelanggannya yang tahu kalau masakan sudah siap sehingga bisa membeli lewat pintu samping.
Tetapi entah kenapa, petugas Satpol PP bisa masuk lewat pintu samping dan merazia dagangan ibu Eni. Satpol PP tidak hirau dengan keberatan ibu Eni dan tetap ‘menyita’ barang dagangan siap makan yang kira-kira seharga Rp 600.000.