Apakah benar yang dikatakan parpol bahwa mereka tidak menerima mahar politik?
Saya kira , orang awampun akan tahu dan paham. Tidak sepenuhnya yang dikatakan parpol  tersebut benar. Kenapa? Bisa dikatakan  benar karena mungkin parpol tidak menerima uang sebesar itu langsung ke kas parpol, kalaupun ada uang diminta parpol, bisa jadi tidak sebanyak itu. Tetapi  orang awam juga tahu, bahwa untuk maju sebagai calon bupati, gubernur butuh ongkos yang sangat banyak. Jangankan calon kepala daerah, untuk maju sebagai anggota DPRD tingkat 1, 2 dan DPR saja butuh duit yang banyak.
Saya memang tidak pernah nyalon , juga tidak pernah menjadi  Tim Sukses (TS) . Tetapi pernah ada teman yang nyalon DPRD tingkat 2 saja mengatakan bahwa untuk terpilih menjadi anggota DPR di kota/kabupaten minimal 2 M harus tersedia. Belum lagi kalau untuk nyalon di DPRD tingkat 1 apalagi di DPR.  Ada lagi teman yang  pernah menjadi  TS memberikan gambaran bahwa untuk nyalon menjadi bupati, paling tidak harus tersedia uang tunai diatas 20 M, itupun belum tentu jadi terpilih. Itu hanya ilustrasi kecil dan sederhana. Bisa dibayangkan untuk nyalon  sebagai Gubernur di ‘lahan basah’ seperti DKI Jakarta yang PAD-nya besar dan mampu memberikan gaji dan tunjangan penghasilan yang sangat besar untuk kepala daerahnya. Saya bisa membayangkan angka yang harus disediakan tentulah sangat besar.
Ahok juga menjelaskan biaya segede itu banyak dihabiskan untuk mengerakkan mesin parpol dari cabang sampai ranting. Pernyataan Ahok clear kok.  Saya asumsikan dengan cara  sederhana, untuk satu ranting saja, saat kampanye dan sosialisasi membutuhkan uang untuk konsumsi, spanduk, MMT, baliho , kaos, dll yang membutuhkan dana puluhan juta bahkan bisa ratusan. Tinggal dikalikan saja dengan berapa ranting dan berapa cabang.
Parpol emoh mengakui adalah pura-pura bodoh dan pura-pura tidak tahu. Ya merasa  tidak menerima duit mahar politik. Padahal jelas  memang  ada mahar  yang  digunakan untuk mengerakkan mesin partai. Artinya tidak salah jika Ahok mengatakan kalau ongkos  nyalon lewat parpol lebih mahal ketimbang nyalon lewat independen.
Â
PDIP Benturkan Risma dengan Ahok
Lelah menanggapi Ahok, rupanya PDIP memilih  ‘nabok nyilih tangan’. PDIP kelihatannya tidak mau lagi  (paling tidak kali ini) meladeni Ahok yang energinya nggak ada habisnya. Ia sepertinya memilih melakukan klarifikasi lewat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang terkenal  berkarakter mirip-mirip dengan Ahok. Keras, lantang, cepat gusar, tegas, tanpa kompromi. Risma dengan keras  menegaskan bahwa dirinya tidak pernah membayar sepeser pun kepada PDI Perjuangan yang mengusungnya sebagai kepala daerah dalam dua periode Pilkada Kota Surabaya.Bahkan ia berani sumpah atas nama TUhan kalau tidak mengeluarkan mahar politik . "Saya berani sumpah atas nama Tuhan, lagi pula saya juga tidak punya uang," kata Risma, Jumat (11/3/2016) di Surabaya, Jawa Timur, seperti yang dilangsir Kompas.com.
Bagi saya pribadi, PDIP segaja membenturkan putra-putri terbaik bangsa yang mampu membawa kemajuan bagi daerahnya. Melalui tangan  Risma, kadernya yang mumpuni, PDIP menyangkal pernyataan Ahok.  Ia ingin membuktikan bahwa yang bicara adalah orang yang terlibat langsung, yang usung langsung oleh PDIP saat Pilkada. Jadi ada bukti dan saksi hidup, tidak mengada-ada.
Dengan  cara  yang dilakukan PDIP, maka saya tidaklah heran jika hari ini, besuk  atau lusa, kader PDIP lainnya seperti Ganjar Pranowo juga akan diminta (atau kadernya sukarela bicara sendiri) untuk  buka suara untuk membersihkan parpolnya dari 'cubitan' Ahok.
Kita tunggu saja .