Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkunjung ke Hueknutu, Kagumi Tenun Ikat NTT

17 November 2015   08:22 Diperbarui: 17 November 2015   08:40 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beragam kain motif dari kelompok Naubina ini, tetapi mereka rata-rata menenun motif sotis, buna, ikat/futus dan sumba. Meskipun motifnya masih motif lama warisan dari nenek moyang, mereka telah kreatif memadukan warna-warna cerah yang diminati pasar.


Waktu yg digunakan untuk membuat selembar kain tenun sarung tidak pasti karena para mama menenun hanya untuk pekerjaan sambilan. Belum secara khusus mmebuat tenunan sebagai pekerjaan utama. Membantu suami di ladang mengurus ternak masih menjadi prioritas mereka. Tetapi terkadang para mama juga meluangkan waktu khusus untuk menenun jika ada pesanan. Selembar kain tenun ukuran sarung seharga Rp 500 rb , kerja full/tidak sambilan bisa jadi sekitar 1 bulan. Kain sarung yang seharga Rp 500 rb, kerja sambilan jadi dalam waktu 3 bulan. Sementara untuk kain seharga Rp 1 jt, kerja full membutuhkan waktu 5 bulan. Kain seharga Rp 1jt, kerja sambilan bisa 1 tahun baru jadi.

Soal pemasaran, kelompok ini mengandalkan tetamu yang hadir di kelompok Naubina. Biasanya pihak kecamatan, kabupaten datang membawa tamu berkunjung. Dari merekalah kain tenun berharap laku dibeli.

Karena minimnya akses transportasi, hanya ada oto bak terbuka yang sesekali lewat dan ojek yang biayanya mahal, para mama membeli bahan tenun seperti benang dan pewarna dua bulan sekali ke kota Kupang. Untuk memudahkan, kelompok tenun Naubina ini membeli bahan lebih banyak sehingga anggota kelompok tinggal mengambilnya secara bon/pinjam ke kelompok. Saat kain laku, bahan yang di bon baru dibayar lunas.


Soal air bersih juga masih menjadi kendala besar. Saat pencucian benang dibutuhkan air yang cukup karena agar benang tidak luntur harus di cuci-jemur, cuci-jemur berkali-kali. Sampai benang tidak luntur lagi. Sementara saat musim kemarau, air sangat sulit didapat. Sumur warga kering, sehingga para mama harus mencari sumber mata air yang letaknya cukup jauh mencapi 2-3 Km.

Keterbatasan akses transportasi, kekurangan air bersih, jaringan pemasaran yang belum ada membuat para mama kesulitan untuk mengembangkan tenun ikat Naubina. Mereka berharap ada perhatian lebih dari pemerintah Kabupaten Kupang sehingga tenun ikat bisa terus dikembangkan dan menjadi alternative pendapatan keluarga.


Saat siang sudah terik, Saya tidak bisa lagi menahan untuk tidak buang air kecil. Sedari tadi sudah berusaha untuk membatasi minum, tetapi udara yang panas membuat keinginan minum tidak terbendung. Saya dan teman membawa sebotol air mineral ke kamar mandi yang tidak ada setetespun air. Sungguh prihatin, kebutuhan air sangat penting dalam rumah tangga, tetapi sangat sulit didapatkan.

Ada rasa haru saat para mama memeluk Saya dengan erat saat pamit pulang. Masih ada yang harus saya kerjakan sehingga tidak bisa berlama-lama berbincang dengan mama-mama pengrajin tenun yang hebat, terampil tak pantang menyerah dan kuat. Dari jari halus mereka, kain tenun NTT menjadi terkenal, berharga jual tinggi  dan banyak diminati orang luar. Terimakasih atas semua kebaikan para mama. Beta sonde  melupakannya.

_Solo, 17 November 2015_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun