Â
No. 79Â Suci Handayani Harjono
Â
Hus..hus..hus….
Kucing hitam itu hanya memandang tak berkedip, seperti tak terusik sama sekali. Ia tetap duduk dengan posisi semula.
Hus..hus… Buk!
Meong!
Dayat mengusir kucing itu dengan jengkel. Kali ini sebuah tepukan kasar dari sapu ijuk mendarat di punggung kucing hitam yang mengaduh sambil memelototi Si Empunya Sapu. Pandangan matanya galak, menantang. Tubuhnya berdiri tegak dengan ekor menjulang, bersiap untuk menerjang. Sesekali taringnya yang tajam diperlihatkan.
Jerih juga Dayat di pandang kucing yang kalap itu. Ada sebersit penyesalan mengelayuti hatinya, tetapi cepat dibuangnya jauh-jauh. Huh, itu hanya seekor kucing kampung yang menjengkelkan, katanya sambil membanting pintu. Lega. Ia terhindar dari mata tajam itu, setidaknya untuk beberapa saat.
                                                                                                 **
Sudah seminggu ini kucing hitam itu terus duduk di teras rumah Dayat. Tenang, tak bergeming tetapi kelihatan waspada. Meskipun kucing itu tidak masuk rumah dan tidak mencuri makanan, tetapi ia tak nyaman juga. Berulangkali ia mencoba mengusir tetapi kucing itu hanya pergi sebentar dan kemudian entah dari mana datangnya makluk berbulu itu kembali duduk tenang di teras. Sepertinya kucing itu sengaja duduk di teras rumahnya untuk menterornya. Jelas itu. Dayat yakin karena melihat mata kucing itu menyiratkan kebencian sangat padanya. Ia jelas sengaja membuat hidupnya tidak tentram. Dan kucing sialan itu berhasil. Ya sangat berhasil membuatnya tidurnya tidak nyenyak lagi.
Dayat tinggal sendirian, menyewa sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tidak terlalu jauh dari tempat kerjanya, hanya butuh waktu 30 menit untuk mencapai kantornya yang berada di pusat kota. Meskipun sederhan, tetapi Dayat cukup puas karena lingkungan rumahnya masih asri. Perumahan lama tetapi masih banyak tanah kosong yang belum dibangun. Udaranya sejuk karena banyak pohon rindang di tepi jalan sepanjang perumahan. Sudah hampir setahun lebih Dayat tinggal di situ dan ia meresa betah.
Oahem…. Berulang kali ia menguap, kantuk sudah sedari tadi menghampirinya tetapi matanya tak juga terpejam. Ingatan pada kucing hitam itu membuatnya terus dilanda kekhawatiran. Dayat mencoba mengingat-ingat maklum berkumis itu. Kenapa ia senang duduk di teras rumah? Sepertinya sedang mengawasi sesuatu, atau menunggu sesuatu? Ach entahlah.
Meong…meong…meong….
Suara itu terdengar sayup-sayup tetapi perlahan jelas sekali tertangkap telingganya. Terdengar mirip jeritan ditingkahi kesedihan yang memilukan . Dayat bergidik, seluruh kuduknya berdiri. Perlahan tetapi pasti suara kucing itu mengiris hati, kesakitan dan berlumuran derita.
Dayat…Dayat….Dayat….
Bisikan itu terdengar perlahan mirip desahan angin, tetapi terus berdeging di telingga Dayat. Amat jelas sehingga membuatnya terus berjaga. Berkali-kali ia dilanda keresahan, menutup telingganya dengan bantal berharap suara itu menghilang. Tetapi tetap saja rintih kucing itu terdengar jelas.