bag. 4.
“Oh tidak... tidak... jangan, Tuhan,” nafas laki-laki tua itu seakan sudah berhenti berdetak. Bayangan-bayangan buruk itu seolah selalu mengejarnya.
Laki-laki tua itu berteriak histeris, tangannya tanpa sadar mencakar rambutnya. Dia seperti orang gila sudah tidak menyadari apa yang dia lakukan lagi, hingga ia jatuh pingsan di kejar ilusi yang dia ciptakan sendiri.
**
Di ruangan besar dan mewah itu terlihat beberapa orang laki-laki setengah baya berpakaian parlente, dan seorang laki-laki tua. Rambutnya yang sudah memutih semua itu berkilap pertanda dioles minyak mahal, perutnya yang berlemak tebal ditutupi jas dan dasi rapi. Sebuah tongkat menopang tubuhnya yang gemuk tetapi telah ringkih karena usia yang mengerogoti jiwanya. Laki-1aki tua itu duduk berhadap-hadapan dengan beberapa laki-laki setengah baya yang pastilah bawahanya. Wajah-wajah mereka tegang seperti membicarakan sesuatu masalah yang sangat serius.
”Kalian mengerti. Bagaimanapun juga orang-orang yang berusaha mengancam 'rust en orde' dipemerintahanku harus dibereskan. Pengarang, seniman, mahasiswa, buruh dan semua rakyat yang ingin menggoyang kekuasanku...! ”Kata laki-laki tua itu tegas.
”Tapi tuan, sesungguhnya kita sudah tidak bisa berbuat seperti dulu lagi. Akan sangat membahayakan posisi tuan sendiri, kalau kita tetap memakai cara-cara kekerasan.” Iawab seorang bawahannya.
”Iya, saya sependapat. Lagipula sebenarnya mereka tidak bersalah. Semua yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan undang-undang. Ingat tuan, mereka dilindungi undang-undang,” tambah yang lainnya.
“Dan saya kira wajar jika rakyat menuntut perubahan.”
”Apa...?!" laki-laki tua itu berang sekali.
Tak di sangkanya orang-orang kepercayaannya sekarang mendukung rakyat yang dianggapnya musuh. Dia mengebrak meja dengan kemarahan yang luar biasa.
”Bisa-bisanya kalian menentang perintahku. Mereka itu sudah melakukan tindakan subversi. Mereka menghina, mencoreng mukaku, mencekoki rakyat dengan cerita-cerita yang membahayakan kedudukanku. Apakah itu masih wajar heh ?!" dampratnya murka.
Tapi anehnya, kali ini orang-orang bawahannya itu tidaak menampakkan ketakutaan dengan kemarahan tuannya. Justru terlihat acuh tak acuh dan dengan tenangnya menikmati kemarahan tuannya.
”Tuan, penolakan mereka terhadap sistem ini memang lumrah. Mereka sadar bahwa selama ini sistem yang ada menindas mereka. Kalau boleh saya berpendapat, sebaiknya ijinkaan rakyat untuk berpolitik tuan. Bagaimanapun juga itu adalah hak mereka,”
“Hei.. kau benar-benar menentangku ya. Dengar kau aku pecat hari ini juga. Cepat keluar dari sini.” Teriak laki-laki itu kalap.
”Tidak bisa tuan, tuan sudah tidak berhak mengusir saya. Dengan alasan apapun tuan tidak akan bisa memecat saya.” Laki-laki yang di usir itu tersenyum melecehkan.
Laki-laki tua itu terlihat semakin murka.
”Kalian.. kalian semua juga mendukungnya?! Ingat kalian harus dengar ucapanku dan melaksanakan semua perintahku seperti yang kalian lakukan selama ini,” laki-laki tua itu memandang orang-orangnya dengan panik.
Beberapa laki-laki di depannya saling bertukar pandang, mengangkat bahu dan tersenyum. Kembali mereka tidak memperdulikan laki-laki tua di depannya.
Laki-laki tua itu wajahnya semakin pucat pasi, dia nampak begitu ketakutan dan tak berdaya. Orang nomer satu ini merasa dicampakkan, diremehkan dan dihina oleh semua orang tak terkecuali oleh orang-orang kepercayaannya sendiri. Orang-orang yang tak pernah membantah semua keinginannya selama ini, tetapi sekarang telah berani menentangnya. Dia tak habis pikir dengan semua kejadianDadanya terasa nyeri, kepalanya berdenyut-denyut.
”Saudara-saudara, tolong dengarkan. Aku akan berikan apa saja yang kalian inginkan, jika kalian mau mendukung dan mentaati perintahku. Bagaimana, kalian tentunya setuju bukan?" harap laki-laki tua itu memelas.
Tetapi orang-orang di depannya tak pedulikan semua yang dikatakan laki-laki tua itu.
”Saudara-saudara, ingatlah kalian harus mau membantuku. Ingat, dulu kalian yang mengangkat aku. Akulah yang telah menjadikan kalian seperti ini. Ayolah.” Tak putus asa laki-laki tua itu berusaha membujuk orang-orangnya.
”Ma'af, tidak bisa tuan.” Tanpa dikomando orang-orang bawahannya itu menjawab tegas. Dan kembali mereka tak pedulikan laki-1aki tua di depannya, kini malah terlihat mereka satu persatu mulai meninggalkan ruangan besar itu.
”Ayolah, tolonglah aku," ratap laki-laki tua itu. Dengan ditopang tongkat dia berjalan tertatih-tatih berusaha menghalangi orang-orang bawahannya untuk tidak keluar. Tetapi lagi-lagi mereka tak mengubris dan terus keluar dengan meninggalkan senyum mengejek. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H