Kulihat di markas hanya ada Agus yang sedang asyik bermain kereta api yang terbuat dari kayu balok yang di di gandeng. Mainan sederhana yang di hasilkan dari tangan –tangan mugil anak-anak yang tinggal di bantaran relKereta Api Stasiun Purwosari Solo.
“Halo, Gus, temannnya yang lain mana?” ku hampiri Agus yang tersenyum ceria melihat kedatanganku. Tangannya mengelayut manja sambil mendekapku. Kebiasaan Agus dan teman-temannya kalau ketemu denganku di markas. Tempat yang biasa di sebut markas oleh anak-anak ini sebenarnya hanyasebuah gudang bekas yang disudah lama tak dipergunakan lagi si empunya, PT Kereta Api.
Dahulu sebelum digunakan untuk tempat bermain dan belajar anak-anak, markas ini begitu kumuh dan banyak sampah berserakan. Beberapa pengamen dan pemulung biasa mengunakan untuk berteduh atau sekedar untuk melepas lelah. Sekitar setahun yang lalu setelah aku ketemu dengan anak-anak dan setiap seminggu sekali mengumpulkan mereka di tepian rel kereta api mengajarkan mereka belajar, ketua RT dan bapak-bapak menawarkan gudang kosong untuk tempat belajar.Rupanya mereka kasihan melihat anak-anaknya belajar di tepi rel kereta api yang lumayan bising, terlebih kalau musim hujan kegiatan tak bisa dilakukan lantaran kehujanan.
Setelah bergotong royong membersihkan gudang, ‘markas’ sudah bisa dipergunakan. Tak ada barang berharga, kecuali hanya beberapa buku-buku bekas yang ku beli dari pasar buku bekas dan dari sumbangan teman-teman yang peduli, beberapa set alat tulis dan pensil warna serta mainan dari barang-barang bekas.
“Belum pada datang mbak, dari siang hujan sih,” jawab Agus sambil melepaskan dekapan tangan. Agus menarik tanganku dan memperlihatkan gambar yang dibuat. Sebuah gambar bangunan rumah yang di depannnya ada beberapa anak-anak.
“Ini sekolah mbak, dan ini Agus sama teman-teman,” tanpa ku tanya mulut mugilnya sibuk berceloteh sambil menceritakan imajinasinya. Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh sekaligus trenyuh mendengar keinginanyang besar dari Agus.
Rata-rata anak-anak penghuni rumah di bantaran ini berusia 4-6 tahun dan belumbersekolah. Ada beberapa anak yang bahkan sudah berusia diatas 7 tahun tetapi belum disekolahkan. Keterbatasan kondisi ekonomi menjadi salah satu alasan orangtua mereka yang pekerjaannya menjadi pemulung dan pengamen tak mampu menyekolahkan.Alasan itupula yang mendorongku untuk sekedar berbagi pengalaman dengan membantu anak-anak belajar dan bermain.
Seminggu dua kali, hari Selasa dan Sabtu sore biasanya aku menemani mereka untuk sekedar belajarmembaca, menulis, berhitung, mengambar dan bernyanyi.Sesekali aku juga mengajak mereka untuk membuat mainan sederhanadari barang-barang bekas yang diperoleh dari orangtua mereka. Mendorong mereka kreatif dengan memanfaatkan barang yang tak terpakai lagi sehingga mereka mampu menghargai hasil kerja keras orangtuadari bekerjamengumpulkan barang bekas tersebut.
Sekitar 15 menit kemudian, nampak Lusi, Kiki danSiti datang. Mereka bertiga membawa mainan kapal-kapalan dari kertas koran bekas. Rok kumal Kiki basah di bagaian bawah. Setelah bersalaman, mereka segera bergabung dengan Agus yang tampak antusias memperlihatkan gambar sekolah impiannnya. Terdengar tawa dari mulut merekayang sesekali ditimpali celoteh riang. Tanpa di minta ketiga anak perempuan tersebut segera mengambil selembar kertas HVS yang bertumpuk di dalam kardus. Tidak semua kertas itu baru, sebagian besar kertas bekas yang dimanfaatkan di belakang. Aku segaja membawakan kertas-kertas bekas yang kuminta dari teman-teman, baik kertas bekasskripsiyang tidak jadi, maupun tugas kuliah lainnya. Temanku juga senang tak perlu repot membuang kertas, karena sudah aku ambil secara rutin.
Dengan pensil yang tak lagi panjang, mereka tampak asyik mengambar.Pensil-pensil yang mereka gunakan sebagian besar berasal dari pensil hotel. Ketika mengikuti seminar atau kegiatanyang diselenggarakan berbagai lembaga di hotel, biasanya aku mengumpulkan pensil tersebut. Jarang orang mau mengunakan pensil hotel yang tidak terlalu tebal dan bagus kualitasnya sehingga aku manfaatkan untuk anak-anak.
Aku tersenyum mengamati kesibukan mereka . Hari ini anak anak memang belajar mengambar, ku biarkan mereka menuangkan imajinasinya, sambil menunggu anak-anak yang lain datang. Biasanya ada sekitar 10 anak yang ikut belajar di markas. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H