Musibah sebagai Panggilan: Menyadarkan Masyarakat Pentingnya Kepeduliaan terhadap Sampah
Masalah sampah terus menjadi masalah yang tak pernah ada habisnya dan bahkan selalu menarik untuk diperbincangkan. Apalagi jumlahnya selalu bertambah setiap harinya yang mengakibatkan tempat pembuangan akhir menjadi ancaman jika jumlah tersebut tidak segera mendapat perhatian. Ditambah pula gaya hidup masyarakat yang serba instan yang menambah jumlah sampah di pembuangan akhir menjadi meningkat.
Jika kita tengok data lingkungan hidup mengenai sampah pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Direktorat Penanganan Sampah menyebutkan pada tahun 2023 terdapat data capaian hasil penginputan data yang dilakukan oleh 168 kabupaten/kota se-Indonesia terdapat timbunan sampah sebanyak 19.231.897,86 ton/pertahun. Sementara dari timbunan tersebut baru dikurangi jumlahnya 16,67% sedangkan dari jumlah tersebut, sampah ditangani sebanyak 50,27%. Itu berarti ada sampah yang tidak dikelola sebanyak 33,06%.
Jumlah itu akan terus meningkat jika kesadaran masyarakat terhadap penggunaan bahan yang dapat menjadi sampah akan terus secara berkelanjutan dan apa yang akan terjadi di bumi kita berapa tahun yang akan datang? apalagi jika kita tengok tempat pembuangan sampah apakah jumlahnya terus berkurang atau semakin bertambah? Sementara tanda-tanda alam yang diberikan kepada kita cukup sebenarnya memberikan sinyal untuk segera sadar dari keadaan. Banyak musibah yang datang akibat sampah.
Banyak peristiwa alam yang dapat kita saksikan misalnya banjil yang diakibatkan oleh sampah yang menumpuk sehingga menghambat aliran air. Belum lagi penyakit lainnya yang ditimbulkan oleh timbunan sampah yang menggunung yang dibiarkan begitu saja tanpa penanganan dan sederet bencana lainnya akan turut menyertai jika tingkat kepeduliaan kita terhadap sampah masih rendah. Sementara di laut, kita banyak menyaksikan habitat hewan laut terganggu dan bahkan mati akibat sampah yang dibuang manusia. Ini menandakan bahwa tindakan kita perlu segera diminimalisasi dan saatnya diubah cara pandang dan gaya hidup.
Selain itu, yang membuat hati pribadi teriris adalah sepanjang jalan yang saya lalui terdapat sampah botol air yang menghiasai pinggiran jalan. Tak hanya itu, ada sebagian dari orang yang sengaja membuang sembarangan yang menimbulkan aroma menyengat sehingga menganggu pengguna jalan yang melintas. Memang membuang sampah jika selesai makan atau minum terasa mudah tinggal dilempar ke pinggir jalan. Lalu, pernahkah terbersit jika semua pengguna jalan melakukan hal serupa, lalu apa yang terjadi? Mudah membuang tapi belum tentu mudah dalam penanganan.
 Jika di kota terdapat petugas kebersihan tapi jika di jalan negara, siapa yang bertanggung jawab. Memang menyalahkan itu lebih mudah daripada menyadari kesalahan. Kita bisa belajar dari negara lain yang sukses menyadarkan diri sendirinya untuk menyimpan sampah dan membuangnya jika menemukan tempat sampah. Hal ini patut kita apresiasi untuk segera diaplikasikan. Jangan sampai bencana datang mengintai baru kesadaran kita menyusul. Apakah tanda-tanda alam tak cukup menyadarkan kepada kita? Apakah perlu terjadi bencana terlebih dahulu baru disusul kesadaran? Semua itu kembali kepada diri kita masing-masing. Sekeras apa pun orang lain melakukan upaya penangan sampah tapi jika diri kita tetaplah apatis juga percuma. Mari belajar bijak dari pengalaman.
Dari pengalaman bencana yang telah terjadi menjadikan musibah sebagai penggila untuk berperilaku. Kita bisa menyadarkan diri sendiri dan oran lain untuk peduli dan bertanggung jawab kepada lingkungan. langkah-langkah sederhana dapat diterapkan mulai pribadi, komunitas, masyarakat luas, dan pemerintah dapat menghasilkan dampak besar secara berkesinambungan pada bumi yang kita huni. Musibah yang menyapa memang menyedihkan tapi dari kesedihan dapat lahir kesempatan untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
    Â
sumber