Ramadan yang Sederhana: Menikmati Berkah Kuliah Tanpa Menu Berbuka yang Istimewa
Kisah ini saya tulis untuk mengukir kenangan saat kuliah. Semoga dari kisah nyata ini pembaca dapat mengambil pelajaran yang berharga dari pengalaman selama saya meniti karier pendidikan di perguruan tinggi.
     Impian kuliah bagi saya adalah sesuatu yang tinggi. Apalagi di saat itu kondisi ekonomi keluarga yang tak memungkinkan. Sebagai anak petani yang masih kesulitan ekonomi sungguh begitu menyiksa. Tapi niat yang kuat selalu ada di benak untuk mengubah nasib. Di keluarga hanya saya yang bisa menikmati pendidikan tinggi. Dengan berbagai cara hingga menjual tanah akhirnya saya bisa melanjutkan kuliah di Samarinda, tepat di Universitas Mulawarnan.
     Hal ini suatu anugerah yang luar biasa yang Allah berikan kepada saya. Sehingga saya tak pernah melewatkan kesempatan itu. Amanah yang diberikan orang tua, saya jaga dengan memberikan IPK yang terbaik. Saya tak pernah menuntut orang tua harus mengirimkan sejumlah uang melalui wesel yang dilakukan sejak tahun 2022 hingga saya lulus. Semua saya terima dengan senang. Padahal uang dikirim yang sangat minim ditambah dengan kebutuhan kampus belum bisa menutupi.
     Akhirnya saya memilih bekerja sambil kuliah. Di samping itu memilih beberapa organisasi agar mampu bersosialisasi di antaranya BEM, KSR, HMI, HMJ, dan kegiatan keagamaan lainnya. Saya memilih itu untuk mengisi di sela kesibukan kuliah dan kerja agar jiwa kepemimpinan saya dapat belajar sebelum menjadi ASN. Selama 2 tahun belajar di FKIP saya telah belajar menjadi guru honor pada tahun 2004 hingga 2009. Sejak itulah kepadatan waktu tak membuat saya terlena mengenai target IPK yang didapatkan.
     Saat Ramadan menyapa, saya menyambutnya dengan bahagia. Tak ada yang istimewa untuk menyiapkan buat berbuka atau sahur. Bisa menikmati lauk seadanya itu sudah lebih dari syukur. Dari hasil kerja itu saya prioritaskan untuk membeli buku bekas guna menunjang pengetahuan sebagai guru. Sebab, jika hanya mengandalkan yang didapat dari dosen maka saya juga merugi. Saat itu, saya mengerti apa yang saya terima pengetahuan dari kampus selama 2 tahun akan berbeda jauh jika kita mengajar di sekolah.
     Teori yang ada memang perlu uji coba dan perlu teori-teori lain sebagai penunjang yang bisa mengantarkan guru menjalankan profesinya dengan baik. Jikalau tidak Ramadan menu yang saya buat hanya tumis campur tempe. Jika keuangan minim hanya ikan asing. Jikalau sangat sibuk hanya dadar telur atau mie instan. Setiap menerima gaji, sesekali hanya merasakan ayam goreng. Itu bisa dihitung jumlahnya.
     Gaji yang saya peroleh memang semua prioritas untuk menunjang kuliah agar apa yang saya peroleh dapat bermanfaat kelaknya meskipun harus mengorbankan kesenangan. Tapi menikmati kuliah adalah anugerah terindah yang Allah berikan. Sehingga saya tak pernah berpikir harus ingin makan apa? dengan lauk apa? Semua itu seakan tak ada di benak. Bisa menghapus rasa lapar, itu lebih dari syukur. Apalagi bisa makan dengan lauk yang bergizi, itu suatu mimpi yang hanya sebuah harapan.
     Rutinitas itu sama saja saat puasa dan sahur. Saya tipe orang tak ingin merepotkan orang lain dan tak ingin mengadakan sesuatu untuk dimakan. Apa yang dimiliki saat itu, itulah yang saya makan. Pengalaman hanya makan sama garam sebelum saya bekerja itu adalah pengalaman indah yang pernah saya alami. Sejak itulah saya berusaha tetap sabar dan selalu berusaha menjadi anak yang menjaga amanah sampai lulus kuliah 4 tahun.
     Tak lama setelah itu saya diangkat menjadi ASN, kehidupan berubah menjadi lebih baik. Dari pengalaman itu setidaknya saya tanamkan ke anak arti hidup sederhana dan tak mengeluh dengan keadaan. Sebab, menyalahkan keadaan bukan solusi bijak tapi selalu berusaha mencari alternatif pemecahan yang ada hingga bisa mencapai sesuatu sesuai harapan.
Â