Sebagai anak petani padi, saya paham sekali bagaimana lika-liku perjalanan orangtua mulai membuka sawah dari nol sampai sekarang. Perjuangan tersebut tidaklah sebanding dengan apa yang didapatkan saat panen datang. Kok bisa?
Ya, rata-rata modal yang diperoleh dari petani adalah pinjaman agar dapat membuka usaha. Tapi, itu tidak semua begitu, rata-rata di desa orangtua saya tinggal melakukan hal tersebut.Â
Ditambah lagi biaya operasional dan perawatan padi terasa begitu mencekik. Harga pupuk dan obat-obatan terasa mahal seperti membeli perawatan kecantikan.Â
Namun, kedua produk tersebut wajib dibeli agar pertumbuhan padi tidak mengalami gagal panen. Apalagi biaya yang dikeluarkan seakan penguras pendapatan, ditambah lagi modal memulai usaha dari pinjaman.
Berita kenaikan beras seharusnya disambut dengan lapang dada. Tapi lain di petani padi. Mengapa demikian? Beberapa bulan lagi petani di kampung orangtua saya akan merayakan panen. Tapi seperti biasa harga jual padi tetaplah stabil.Â
Para petani sangat mengharapkan mendapatkan harga sepadan dengan yang dikeluarkan agar kehidupan layak didapatkan. Namun, harapan tinggallah harapan, yang ada bagaimana seorang petani dapat bertahan hidup dengan menghitung segala pemasukan dan pendapatan yang diperoleh saat pembukaan lahan hingga panen tiba.
Jika dihitung dengan pemerolehan panen, tidaklah mendapat untung banyak. Ditambah lagi jika petani menyewa jasa orang dalam mengerjakan penanaman dan perawatan. Tambah pula beban pengeluaran. Sehingga petani mesti menyiasati cara pengeluaran perawatan dihemat dengan cara dikerjakan sendiri.Â
Sebab, jika mengandalkan orang lain maka petani tak dapat menutupi dengan hasil yang diperoleh. Begitu kata orangtua saya setiap ada percakapan pembahasan tentang pertanian.
Coba bayangkan, awal tanam petani harus mengeluarkan biaya pembajakan, tanam padi, perawatan sampai pemanenannya.
Belum lagi kalau tenaga sudah tidak kuat perlu untuk yang mengangkatkan sampai penjemuran dan ditambah biaya ke tempat penggilingan.Â