Mohon tunggu...
Suciati Lia
Suciati Lia Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar mengungkapkan sebuah kata agar bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buah Manis Kejujuran

24 Desember 2023   18:08 Diperbarui: 24 Desember 2023   18:15 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto Shutterstock 

Sebuah cerita anak

Matahari yang terik sampai ke ubun-ubun membuat peluh dan keringat bercucuran hingga membasahi baju yang kukenakan. Rasa lelah kaki ini melangkah setelah dua jam aku menjajakan kue yang kuambil di tempat Bu Marni langgananku.

            Kusuarakan keras-keras supaya dapat menarik minat pembeli untuk mencicipi kue ini. Namun sampai dua jam juga hanya sedikit pembeli yang mau mampir untuk membeli. Mungkin mereka iba ketika melihatku sehingga mereka terpaksa mau membeli kue yang aku jajakan. Namun aku tetap bersyukur masih ada orang yang berkenan untuk membantuku membeli kue yang aku jajakan.

            Kulangkah kaki ini entah berapa lama lagi langkah kaki ini akan berhenti hingga kue yang kubawa segera habis terjual. Setiap langkah kaki ini ada harapan semoga hari ini membawa keberkahan untukku. Apalagi aku diasuh oleh orang lain yang merasa iba kepadaku setelah kedua orang tuaku telah meninggalkan aku selamanya karena sakit keras yang menyerangnya. Keadaan ekonomi yang melilit keluargaku membuat kami tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya pasrah menyaksikan pemandangan yang tak pernah aku lupakan seumur hidupku. Ketika kedua orang tua merenggang hembusan nafas terakhir. Sungguh peristiwa yang amat pilu sampai sekarang yang menjadi motivasiku untuk terus berupaya sekuat tenaga membantu Ibu Murni mengurangi beban keluarganya.

            Aku tahu kehadiranku di rumah Ibu Murni pasti menjadi beban pengeluaran . Apalgi keluarga bu Murni ekonominya pas-pasan saja. jadilah wajar ketika ucapan itu tak tertuju padaku. Namun, cukup menusuk sampai ke relung hatiku paling dalam. Sejak itulah aku mulai membantu meringankan beban ibu Murni sekeluarga, meskipun mereka tak ingin aku bekerja membantu mereka, tapi tak enak jika menjadi benalu di keluarga mereka tanpa dapat melakukan sesuatu yang memberikan manfaat untuk keluarga tersebut.

            Tanpa terasa kakiku menyandung sebuah dompet besar. Lamunanku seketika buyar. Kuraih dompet itu. Aku memandang keadaan sekelilingku, nampak sunyi. Hatiku bergejolak. Dompet siapa gerangan? Apa dompet ini sengaja di buang atau jatuh? Aku mulai diliputi penasaran yang mendalam. Sebenarnya apa isi dompet ini? barang berharga atau hanya berisi KTP saja. rasa ingin tahuku semakin tak tertahankan. Kubuka dompet itu dengan sepenuh perasaan supaya dompet itu tak rusak. Mata terbelalak ketika kutahu apa isi di dalam dompet tersebut. Beberapa cek dan uang. Aku sendiri yang duduk di kelas SD belum tahu apa itu cek, Aku anggap hanya kertas biasa saja.

            Aku mulai diliputi galau tentang dompet itu. Sebenarnya isi dompet itu sangat membantuku. Teringat kejadian dua hari lalu ketika aku dipanggil oleh wali kelasku karena aku belum membayar SPP selama 3 bulan. Dengan cara apa aku harus membayar sedangkan hasil dari jualanku saja tak cukup untuk membayar. Jika dalam sebulan aku tak bisa membayar, pihak sekolah tak biasa memberikan toleransi. Tentunya dengan uang sebanyak ini aku dapat gunakan untuk melunasi uang sekolah.

            Tiba-tiba hatiku memberontak, teringat pesan almarhum ibu dan bapak ketika masih hidup.

"Nak kita emang dari keluarga miskin, tapi pantang buat kita menggunakan sesuatu yang bukan hak kita. Ketika kamu kelak menemukan sesuatu yang bukan milikmu, tolong kembalikan pada yang punya" itulah pesan ibu ketika masih hidup dulu ditambah lagi ucapan bapak yang menambah keyakinanku

" Nak kita hidup miskin akan hidup secara terhormat kalau yang kita makan adalah hasil dari halal. Bapak berpesan jika bapak kelak telah meninggalkan kamu duluan. Tolong kamu ingat selalu supaya kamu bisa jujur pada setiap kesempatan. Zaman boleh berubah namun kejujuran tetap dijunjung tinggi meskipun banyak orang mencaci maki. Teruslah melangkah ke jalur kebenaran"

Kata-kata masih tergiang selalu. Apalagi setiap sore aku selalu mendapat siraman rohani dari guru ngaji agar menggunakan sesuatu yang halal. Kata-kata itu yang selalu mengingatkan ketika aku mau berbuat salah. Uang yang ada di dompet ini tentunya sangat bermanfaat kalau aku berikan kepada Bu Murni. Apalagi keluarga Bu Murni belum kecukupan dan sangat memerlukan asupan dana.

Kumantapkan hati ini supaya tidak penyesalan yang menggerogoti pikiran dan hatiku. Kucoba mencari sesuatu info di dalam isi dompet. Untunglah KTP pemiliknya berada di sana. Di KTP tersebut tertera nama Pak Irwan yang berada di tidak jauh dari tempatku berhenti.

Aku langkahkan kakiku ke rumah Pak Irwan. Aku berharap keputusan yang aku pilih tepat dan tak salah langkah. Tepat Adzan Asar berkumandang tibalah aku di rumah tersebut. Rumah yang besar, halaman rumah yang luas, berpagar besi yang tinggi seakan menggambarkan rumah bak istana. Aku  merasa kecil di rumah sebesar itu. Aku hampiri pak satpan yang tengah berjaga.

"Maaf Pak, apa ini rumah Bapak Irwan? Tanyaku membuyarkan pak satpan yang tengah asyik bermain game.

"Ya betul. Adik mau minta sumbangan ya. Maaf kami tak bisa memberi sumbangan. Silakan adik tinggalkan rumah, sebelum tuan rumah memberikan kopi pahit padamu." Eh maksud baik ternyata tak dihargai. Aku menghela nafas panjang dan berusaha tak cepat emosi. Barangkali pak satpan belum tahu niat sebenarnya yang aku tuju. Aku berusaha menyakinkan beliau hingga pak satpan mengntarkan aku menemui pak Irwan.

Aku memasuki pelataran rumah, bunga-bunga tertata rapi, sangat indah menyejukkan mata. aku berharap ketika kelak aku dewasa aku dapat membuat rumah seperti surga yang dulu pernah diidamkan oleh almarhum kedua orang tuaku. Namun itu hanya angan semu yang membuatku semangat untuk melakukan yang terbaik.

Memasuki rumah yang megah, mataku hanya terbelalak melihat isinya yang begitu mewah seperti yang digambarkan di sinetron yang pernah aku tonton. Aku diminta untuk menunggu di ruang tamu. Ada wanita separu baya menghampiriku dan menanyakan mau minum apa? Aku hanya meminta air putih saja. habis nggak enak kalau minta macam-macam apalgi aku belum kenal siapa pak Irwan sebenarnya.

Tak lama kemudian, bapak separuh baya Keluar dari balik kamarnya. Beliau mendekatiku dan menanyakan apa keperluanku. Matanya penuh selidik melihat apa yang aku bawa seolah mencari-cari sesuatu.

"Maaf Pak, jika kedatangan saya kurang berkenan di hati Bapak. Saya hanya mau mengembalikan dompet ini yang saya temukan di tengah jalan. Saya tak ada mengambil barang sedikit pun. Saya hanya melihat KTP yang bisa memberikan informasi alamat Bapak."
            Pak Irwan pun menerima dompet itu. Sekilas dia hanya melihat-lihat dan bergumam kagum kepada anak seusia  seperti ini masih memiliki keberanian dan kejujuran.

"Bapak ucapan terima kasih atas bantuanmu. Bapak bangga atas kejujuranmu. Sedang apa kamu Nak dan apa dirimu sekolah?"

"Saya sedang jualan kue pak sehabis pulang sekolah. Maaf saya tak bisa lama-lama takutnya ibu mencari saya. Terima kasih pak dan semoga isi tak ada yang hilang".

Aku berpamitan kepada pak Irwan. Pak Irwan memberiku beberapa uang 100-an namun aku menolaknya. Rasanya tak pantas aku menerimanya sedangkan aku tak melakukan sesuatu yang layak mendapatkan uang tersebut.

Sesampai di rumah aku langsung sholat Asar dan menghampiri ibu Murni yang sedang asyik mengupas pisang yang akan dijadikan kripik pisang. Beliau menanyakan keterlambatanku. Aku menceritakan prihal keterlambatanku. Bukannya beliau bangga apa yang aku lakukan malah beliau mengatakan kata-kata yang tak pantas diucapkan yang membuat hati tersayat.

"Kamu itu orang miskin. Hari gini kamu masih bicara jujur. Coba kamu lihat, keluarga ini sangat membutuhkn banyak uang. Coba kamu ambil uang itu pasti setidaknya dapat meringankan beban ibu. Apalagi kamu tahu berapa banyak uang yang ibu keluarkan untuk makan kamu. Apa kamu nggak pikir itu?"

Kata-kata sederhana namun cukup menusuk sampai ke relung hati. aku hanya menghela nafas panjang. Omongan itu aku jadikan sebagai nasihat saja supaya hatiku tak semakin terluka oleh omongan ibu Murni. Ibu yang selama ini telah menampung aku selama setahun belakangan ini. Aku hanya menelan pahit setiap kata yang terlontar dari mulut ibu Murni. Semua kata-kata yang pedas tak membuatku langsung sakit hati. Aku sadar siapa diriku sebenarnya sehingga dengan berkaca diri aku dapat mengobati rasa sakit yang selama ini aku pendam.

Aku hanya bisa meminta maaf atas apa yang aku lakukan yang tak sepantasnya aku minta maaf karena emang aku tak melakukan kesalahan apa pun. Aku hanya berusaha membuat hati ibu tidak bertambah marah oleh keputusanku. Keputusan yang kuanggap baik akan membawa kebaikanku kelak.

Jeda waktu yang diberikan oleh sekolah hanya tersisa hari ini. Aku berusaha tetap tegar di tengah hempasan masalah yang berkecamuk dipikiranku. Aku hanya berlapang dada menerima keputusan pihak sekolah yang akan dikeluarkan oleh pihak sekolah hari ini. Meskipun aku termasuk anak yang memiliki prestasi yang patut dibanggakan tak bisa mengubah keputusan sekolah yang akan mengeluarkan aku dari sekolah tersebut. Karena sekolah harus menjalankan peraturan yang adil untuk semua siswa yang menempuh pendidikan di sini.

Bel istirahat berbunyi memanggil siswa untuk melepas lelah setelah menerima pembelajaran oleh guru. Aku yang sedang membaca buku di teras kelas tiba-tiba temanku meminta  untuk menemui bapak kepala sekolah. Perasaan was-was tak karuan. Pikiranku terbawa larut oleh pikiran yang sebentar lagi aku akan tak bisa menikmati sekolah lagi. Aku sudah tak mampu berusaha lagi menyakinkan pihak sekolah untuk memberi kesempatan aku bersekolah lagi. Emang susah hidup kalau tak ada biaya.

Aku melangkah kaki ini dengan berat. Pikiranku menerawang jauh memikirkan nasib yang sebentar lagi kurang bersahabat. Rasanya aku tak mampu mendengar berita buruk yang sebentar lagi akan diputuskan oleh kepala sekolah.   

Aku mengetuk pintu, namun debaran jantungku berdegug kencang. Tubuhku seakan lemas tanpa tenaga. Aku lemah tanpa daya seolah staminaku turun dratis. Aku hanya bisa terunduk menghadapi panggilan kepala sekolah. Kepala sekolah yang menyaksikanku malah senyum penuh tanda Tanya.

"Budi, kamu ini kayak mau mendapat musibah besar saja. Ayo jangan tundukan kepalamu. Bapak harap kamu Budi nggak sedih. Bapak nggak ada maksud mau melukai hatimu."

Aku terkejut mendengar ucapab bapak kepala sekolah. Padahal hari ini adalah keput  san yang harus aku terima dengan lapang dada. Ada apa yang sebenarnya? Rasa penasaran menghinggapi pikiranku.

"Maaf hari ini saya akan menerima segala keputusan pihak sekolah yang akan mengeluarkan saya karena saya belum mempunyai uang untuk membayar biaya sekolah. Saya pasrah kalau memang keputusannya demikian."

Bapak kepala sekolah melihatku dengan antusias. Beliau berajak dari tempat duduknya dan menepuk pundaku.

"Emang siapa yang akan mengeluarkan murid yang prestasi sepertimu?" aku terpana mendengar ucapan beliau. Ada penasaran ada juga ungkapan perasaan senang. Beliau merasa iba ketika melihatku diliputi tanda Tanya. Akhirnya Beliau menjelaskan apa sebenarnya terjadi. Di tengah pembicaraan tiba-tiba aku dikejutkan oleh datangnya bapak Irwan yang sudah berada di ruang kepala sekolah.

Rasa penasaranku semakin tak tertahan namun kepala sekolah paham betul aku dilanda ingin tahu. Beliau menjelaskan maksud kedatangan pak Irwan untuk menemuiku di sekolah. Betapa kagetnya ketika kutahu permintaan pak Irwan yang akan mengasuhku dan mengangkat aku sebagai anaknya. Soalnya Beliau tinggal di rumah sendirian. Semua anaknya sudah menikah dan memilih hidup bersama keluarga kecilnya masing-masing. Selama 2 minggu ini Beliau mencari informasi mengenai diriku dan sekolahku di mana sehingga membuat hati Beliau tergerak hatinya untuk mengangkat aku sebagai anaknya dan bisa mewujudkan cita-citaku menjadi dokter kelak.

Tuhan kini aku mulai mengerti maksud orang tuaku yang meminta untuk menegakkan kejujuran. Meskipun sulit dilakukan namun sangat memberikan berkah padaku pada waktu tak disangka-sangka. Aku bersyukur telah memiliki orang tua yang menanamkan kepribadian kepadaku meskipun aku orang susah namun aku tetap menjadi diriku sendiri sehingga aku dapat menegakkan kejujuran di tengah krisis moral yang terjadi di tengah masyarakat.

 Aku tak bisa menyembunyikan kebahagianku. Aku peluk tubuh pak Irwan layaknya bapakku sendir. Aku ucapan terima kasih berulang-ulang dengan derai air mata yang mulai membasai pipiku. Aku tak menyangka akan mendapatkan hadiah yang luar biasa yang Allah titipkan melalui pak Irwan. Aku berjanji akan menggunakan kesempatan yang baik ini untuk belajar lebih giat agar impianku tak sekedar impian namun kenyataan yang bisa dirasakan kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun