Isilah literasi terkadang diidentikan dengan kemampuan membaca dan menulis. Padahal istilah literasi dapat merujuk tidak hanya pada kemampuan membaca ddan menulis semata tetapi juga dapat merujuk pada kemampuan berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan seseorang dakam kehidupan sehari-hati. Oleh karena itu, literasi sering dikaitkan dengan kemampuan berbahasa.
Menurut survei yang diselenggarakan oleh PISA yang telah dirilis oleh OECD pada tahun 2019 Â menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei. Hal ini berarti Negara Indonesia tergolong 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. PISA merupakan sebuah studi guna mengevaluasi sistem pendidikan yang telah diikuti lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Siswa yang berusia 15 tahun dari sekolah yang dipilih secara acak. Mereka menempuh tes pada mata pelajaran utama yakni membaca, menulis, dan sains. Dari kemampuan ketiga pelajaran tersebut dapat diketahui bahwa siswa tersebut memiliki tingkat literasi.
Sementara menurut UNESCO yang mengatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 %. Itu berarti dari 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki kegemaran membaca. Berkaca dari data tersebut, tentu ini bukan masalah kecil dan mesti memerlukan penanganan  intens dan perlu dukungan semua pihak. Tidak hanya pihak sekolah sebagai tempat edukasi tetapi juga keterlibatan atau peran serta orang tua juga sangat diperlukan agar generasi emas memiliki budaya baca demi mencapai masa depannya.
Persoalan literasi terkadang erat kaitannya dengan kemampuan membaca. Padahal setiap tanggal 17 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Buku Nasional yang bertepatan pada tanggal itu adalah momen berdirinya Perpustakaan Nasional RI yaitu 17 Mei 1980. Peringatan hari buku nasional dicetuskan oleh Malik Fadjar, beliau adalah Menteri Pendidikan era Kabinet Gotong Royong. Hari buku nasional adalah momen untuk memperingati betapa pentingnya membiasakan diri membaca buku. Padahal buku memiliki peranan sangat penting bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki minat baca  yang tinggi menjadi syarat menuju masyarakat informasi yang merupakan ciri dari masyarakat modern. Hal itu tentu sangat diperlukan menuju Indonesia Emas paa tahun 2045.
Terkadang pribadi juga tergelitik atas pertanyaan yang dilontarkan kepada siswa? Apakah kalian pernah berkunjung ke toko buku? Jawabannya belum pernah? Jawaban singkat tapi cukup membuat hati tersentuh. Lalu timbul pertanyaan berikutnya. Jika setiap libur semester menyapa, kalian pergi ke mana? Mereka menjawab jalan-jalan seperti ke pantai, mall, kolam renang, atau lainnya. Hanya satu yang terlewat yakni toko buku. Padahal ke toko merupakan tempat yang patut diperkenalkan orang tua kepada anak. Tidak hanya sedang mencari buku saja tapi sekadar melihat lalu timbul motivasi untuk membeli dan membaca.
Kemudian timbul sebuah pertanyaan, apa yang menyebabkan minat baca itu rendah? Dari masalah tersebut setidaknya kita dapat menganalisis minimal untuk mengurangi agar jalan keluar untuk mengatasi hal tersebut dapat ditekan. Berikut ini berdasarkan pendapat pribadi mengapa minat baca siswa mengalami penurunan,
1.Siswa senang membaca bacaan yang singkat dan lemah dalam membaca bacaan panjang.
Saat membaca teks dalam jumlah banyak, siswa merasa jenuh dan kurang dapat menafsirkan isi bacaan yang telah dibaca. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap pemahaman mengenai isi teks. Siswa lebih menyukai dalam bentuk audio visual, yang menampilkan kata, gambar dan suara. Hanya saja tampilan kata terlalu cepat sehingga apa yang disajikan dikolaborasikan dengan perpaduan suara dan gambar.