Hukuman mati sampai saat ini masih dipertanyakan keabsahannya. Mengingat bahwa adanya pandangan “hukum kodrat” yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas atau dicabut oleh siapapun dan dalam kondisi apapun, termasuk oleh negara. Merampasnya berarti mengakhiri hidup seseorang. Pada titik mengerikan inilah hidup seseorang sebagai manusia berakhir. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atasnama Tuhan sekalipun. Kewenangan mencabut hak hidup seseorang dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia. Hukuman ini jelas melanggar hak untuk hidup.
Jika kita berpegang pada prinsip dan norma hak-hak asasi manusia, hukuman mati memang harus ditolak atau dihapuskan, karena ia bertentangan dengan prinsip atau norma tersebut. Terlepas dari beratnya tindak pidana yang didakwakan atas seseorang. Hak untuk hidup ini sangat ditekankan untuk dihormati dan dilindungi, seperti yang tercantum dalam Pasal 28A UUD 1945 serta pasal 4 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam praktiknya, penerapan hukuman mati dapat berbuah kesalahan yang tak bisa diperbaiki. Bisa saja terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman mati terhadap mereka yang tidak bersalah atau menjadi tumbal/kambing hitam hukum atau penghukuman. Jika sudah terjadi seperti itu, siapa yang akan bertanggung jawab? Inilah hal yang ditakutkan, karena ketika seseorang dihukum mati atas kesalahan yang tidak dilakukannya, maka tidak ada yang bisa mengembalikannya lagi, kecuali hanya dengan mengembalikan nama baik terdakwa. Jadi hukuman mati perlu dipertanyakan keabsahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H