Tahun berganti dan dunia berubah. Kematian dan kehidupan saling menikam, pun kemenangan dan kekalahan. Di suatu pagi, datanglah berita, bahwa saudara jauh ibuku memiliki seorang anak yang juga membutuhkan akta kelahiran. Ayahnya telah lama menghilang dari rumah sementara sekolah dengan tegas meminta berulang-ulang sebuah berkas bernama akta kelahiran.
Untuk kesekian ribu kalinya, tangan ayahku menguji keahlian persis seperti pengukir yang telah paham makna dan filosofi di balik sebuah motif yang akan ia buat. Seminggu kemudian, sebuah amplop coklat sampai kembali di kantor catatan sipil. Di suatu siang, aku menemukan sebuah berkas dan selembar surat dari kantor catatan sipil. Agaknya, kepala dinas kantor catatan sipil mulai menajamkan mata. Berkas yang dikirim ayahku dikembalikan beserta sebuah pesan singkat “Pas foto di fotokopi surat nikah tidak jelas, tolong diperbaiki.”
Aku terdiam membaca pesan itu. Aku tahu pasti, ayahku tidak akan mampu memperbaiki hal itu karena memang tidak pernah ada surat pernikahan resmi. Hatiku miris juga membayangkan kegagalan justru terjadi kepada saudaraku sendiri. Aku meletakkan kertas itu lagi.
Sampai kini ayahku tak pernah berhenti, mengurus bermacam-macam dokumen menjadi semacam hobi. Mengenai kegagalan ayahku untuk membantu saudaraku sendiri, aku hanya bisa menangkap sebaris kalimat dari cara ayahku bekerja. Isyarat mata ayahku jelas berkata,” meskipun kita mengalami beberapa kegagalan dalam beberapa bagian hidup, bukan berarti kita harus berhenti menolong orang lain.”
Mungkin itu yang ingin disampaikan ayahku walaupun tidak pernah terkatakan secara langsung. Aku, adikku, dan ibuku tidak pernah pula menuntutnya untuk membicarakan berkas yang gagal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H