Hari itu saya bangun dengan tergesa-gesa, rasa kantuk sisa semalam nampaknya belum sepenuhnya hilang namun pesan yang masuk ke dalam Ponsel mengisyaratkan saya harus segera beranjak dari kasur. Rasanya baru sejam lalu mata ini terlelap setelah akhirnya dapat menginjakkan kaki di Pulau Bali. Perjalanan Jakarta-Denpasar yang semestinya ditempuh hanya dalam satu jam 45 menit saja berubah menjadi 2 hari dengan seketika takkala Bandara I Gusti Ngurah Rai tak kuasa lagi menghadapi serbuan abu vulkanik yang bersal dari erupsi Gunung Barujari.
Saya bergegas mengemas barang, keluar dari kamar dan turun ke lantai 3 Hotel Courtyard Marriot Seminyak untuk sarapan dan berkenalan dengan anggota tim Blog Trip Kompasiana dan Pesona Indonesia yang lain. Perut terisi, semangat kembali berkibar saatnya memulai perjalanan Pesona Budaya Ubud.
Mobil yang kami tumpangi berjalan mulus menuju Ubud. Udara cerah cenderung panas menemani perjalanan kami seharian ini. Langit menampakkan kejernihan warna biru tanpa adanya awan yang berarak bahkan anginpun rasanya malas untuk berhembus. Sepanjang perjalanan saya melihat pemandangan khas Ubud, galeri yang berjejer rapi di tepian jalan dengan berbagai benda seni yang diperjualbelikan.
Satu jam perjalanan mobil kami memasuki area parkir. Sebuah patung gajah besar berdiri menyambut para pengunjung sementara para pedagang dengan sigap menawarkan dagangannya ketika kami melewati kios-kios souvenir mereka untuk menuju loket. Tiket seharga 15.000 rupiah yang harus dibeli baik oleh wisatawan domestik maupun wisatawan asing kali ini saya dapatkan secara cuma – cuma. Pihak Kompasiana dan Kementerian Pariwisata RI memfasilitasi saya dengan segala keistimewaan dalam blog trip kali ini.
Selain loket pembelian tiket, ada pula loket pemeriksaan tiket dimana pengunjung dengan celana/rok pendek diwajibkan untuk menggunakan kain panjang yang telah disiapkan. Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan dan kesopanan ketika memasuki sebuah tempat suci. Selain itu terdapat larangan masuk bagi wanita yang sedang dalam masa cuntaka (haid).
Sebuah tangga panjang dan menurun dengan pepohonan lebat di samping kanan kirinya harus kami lalui untuk tiba di areal terbuka tempat Goa Gajah berada. Bapak Wayan dengan ramah menyapa kami dan bersiap memberikan penjelasan mengenai area Pura Goa Gajah.
Bapak Wayan memulai ceritanya dengan mengajak kami memasuki mesin waktu dan kembali ke abad 11 dimana Pura Goa Gajah berdiri. Sejak awal pendirian, pura goa gajah ini dipergunakan untuk kegiatan bertapa yang dikenal pula dengan sebutan tapa yoga semedi. Beberapa orang percaya bahwa pendirian Goa Gajah tak luput dari campur tangan sang raja yang saat itu berkuasa yaitu Raja Udayana. Ia menikah dengan Mahendradata dan memiliki 2 sekte kepercayaan yaitu Siwa dan Budha sehingga corak budaya Hindu dan Budha terlihat dengan jelas di area pura Goa Gajah.
Penyebutan Goa Gajah sesungguhnya berasal dari kata Lwa / Lo yang berarti sungai yang merujuk kepada keberadaan sungai Petanu yang letakknya berdekatan dengan Goa, sedangkan Gajah mengacu kepada Patung Dewa Ganesha yang berada di dalam Goa.
Kemasyuran Goa Gajah pun terbingkai dengan apik dalam Kitab Negarakertagama yang saat ini menjadi referensi utama penelitian sejarah mengenai Kerajaan Majapahit. Pada pupuh ke XIV/3 tersebutlah “ Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah, Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus”
Adanya penyebutan Lo Gajah dalam kitab Negarakertagama yang di tulis pada tahun 1365 oleh Mpu Tantular membuktikkan bahwa wilayah Goa Gajah yang saat itu menjadi pusat kerajaan Bedahulu berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit dengan didahului oleh perlawanan sengit penguasa kerajaan Bedahulu sebelum akhirnya terkubur akibat gempa bumi hebat tahun 1917.
Sisa-sisa reruntuhan akibat gempa bumi masih bisa kita lihat melalui batu-batu kuno yang diletakkan saling tumpuk tak jauh dari tangga masuk. Reruntuhan batu tersebut sebetulnya adalah bekas pintu masuk utama ke dalam Pura, kini selain reruntuhan hanya fondasinya saja yang selamat.
Sebagai tempat melakukan pertapaan terdapat kolam besar di tengah areal Pura berfungsi untuk mengambil air Suci. Kolam besar tersebut bernama Sapta Ganga, Sapta berati 7 dan gangga adalah sungai suci. 7 Pancuran yang terdapat di dalamnya menggambarkan 7 sungai suci di India yaitu Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Serayu dan Narmada dan di selatan Sapta Gangga itulah Goa Gajah berada.
Pada pintu masuk goa terdapat ukiran Bohma yang berarti penjaga Hutan, sementara ornament berbentuk flora dan fauna di samping kana dan kiri ukiran Bohma melambangkan hutan yang di Bali disebut sebagai wana prasta. Wana adalah hutan dan prasta adalah menyepi yang merupakan wujud keinginan seseorang untuk belajar mengani alam smesta. Pada bagian sebelah kiri Bohma terdapat ukiran 5 jari yang melambangkan Panca sradha ( 5 ajaran dasar agama Hindu ) yaitu Brahman - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Atman ialah percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk, Karma Phala, reinkarnasi dan Moksa. Sedangkan pada sisi sebalah kanan terdapat ukiran tiga buah jari yang disebut Tri Kaya Parisudha yaitu perbuatan, perkataan dan berpikir yang baik.
Pada bagian sebelah kiri/ ujung barat goa terdapat ceruk besar untuk menempatkan Arca Dewa Ganesha yang merupakan Dewa Ilmu Pengetahuan. Sementara ujung timur Goa terdapat sebuah ceruk besar tempat 3 buah Lingga yang merupakan perwujudan Siwa sebagai Sang Hyang Tri Pusura.
Padahal sejatinya mengunjungi Goa Gajah sama saja kita belajar mengenai sejarah dan budaya bangsa Indonesia. Banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan hanya dengan berkunjung saja. Sehingga Goa Gajah adalah destinasi yang wajib masuk kedalam bucketlist kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H