Mohon tunggu...
Udin Suchaini
Udin Suchaini Mohon Tunggu... Penulis - #BelajarDariDesa

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serba Instan Minim Kolaborasi

6 November 2022   06:28 Diperbarui: 6 November 2022   07:18 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini, gagapnya kemajuan yang dinilai dari output, membuat banyak gagalnya proses panjang yang tidak menjadi perhatian. Banyak pihak yang ingin serba instan, sat set sat set, jadi. Ini pekerjaan yang butuh effort apa menelan makanan? Untuk menikmati makan saja kita perlu mengunyah 32 kali setelah makanan masuk mulut. Bahkan, acapkali makanan tersangkut di gusi-gusi yang dibersihkan pakai tusuk gigi. Linunya gigi akibat rasa manis sesekali waktu juga menghiasi proses mengunyah makanan ini. 

Beratnya proses akan bertambah semakin berat jika tak ada apresiasi dan tidak memudahkan pihak yang membutuhkan. Seperti orang yang sudah tidak mampu mengunyah, proses akan dipindah dari mulut ke penyajian makanan, karena nasi akan dibikin menjadi bubur untuk memudahkan. Apresiasi pun diperlukan untuk memberikan semangat pada proses, karena lelahnya akan terbayar saat hasilnya dimanfaatkan. pSeperti saat  istri saya masak mulai subuh, supaya makanannya dapat tersaji pas saat suaminya butuh sarapan saat fajar. Bayangkan jika proses ini tidak diapresiasi, ditambah dengan komplain soal rasa, perang dunia kedua pun akan kalah mencekamnya.

Bagi pihak ingin serba instan, semua proses akan menjadi masalah, terutama waktu tunggu yang lebih panjang. Padahal, enaknya kopi pun akan di roasting cukup lama untuk mendapatkan cita rasa pahit yang sempurna. Berbeda dengan kopi instan yang diseduh dengan sewajarnya. Tapi, jika menginginkan kopi dengan citarasa yang berbeda, kopi sachet tidak akan menjadi pilihan. Karena setiap hal yang berbau instan, pasti diproduksi dengan massal dan dapat kita temukan di banyak tempat lainnya. Pernahkah anda menyeduh kapal api sachet, namun pengen merasakan nikmatnya cappucino? tentu kita perlu upaya ekstra untuk mendapatkan susunya. Namun saat yang diinginkan adalah serba instan kita tak mungkin mendapat pembeda dari produk lainnya. 

Saat kita ingin memproduksi satu-satunya barang, tentu ada proses panjang yang perlu diupayakan. Karena produk yang khas dan tercipta dari pekerjaan besar itu butuh proses yang mendalam, bukan seperti makan di warteg yang sekali tunjuk dikaca langsung tersaji di meja. Bahkan, mie gacoan yang lebih murah, harus rela menunggu lebih lama karena antri dalam penyajiannya. Besarnya output dari hasil kerja, setara sama perjuangan di baliknya. Pengelola warteg bekerja dari tengah malam, supaya pagi cepat tersaji. Sementara mie gacoan memiliki persiapan yang lebih sederhana, karena sebagai makanan cepat saji, yang mereka lakukan adalah membangun proses bisnisnya. Keduanya sama-sama berat, namun terkesan mudah bagi para penikmat. 

Bagi pihak yang tidak mau memahami proses, ulasan buruk tentang output bisa jadi suatu yang menyakitkan. Karena masing-masing pihak memiliki kecepatan yang berbeda, tergantung kedalaman informasi yang dimiliki dan seberapa besar output yang ingin dihasilkan. Hasil kerja sangat tergantung dari modal dan bumbu-bumbu yang diramu. Karena tidak mungkin membuat nasi goreng, jika modal yang kita kecambah dan bumbu dapur lainnya. Paling mungkin yang bisa terwujud adalah toge goreng yang memiliki cita rasa berbeda. Saat target produk sudah ditetapkan, namun amunisi memiliki banyak keterbatasan, beban apa lagi yang bisa kita keluhkan.

Mungkin, dibudaya kita sudah terbiasa menghasilkan karya luar dengan  bahan seadanya. Berapa banyak karya bangsa yang diekspor yang diproduksi dari bahan sampah? Dengan amunisi terbatas, orang-orang kita mampu membentuk banyak kreatifitas, terutama bagi karya perseorangan. Namun, jika pembentukan kreatifitas perorangan dikolaborasikan menjadi target output dilembagakan. Masalah mulai bermunculan. Mulai dari berpikir sendiri, mengerjakan sendiri, menyelesaikan sendiri, dan jika ada masalah di dalamnya, berpotensi menjadi bahan perundungan. Padahal, dalam kolaborasi, satu sama lain perlu saling mengisi, bukan memberikan tantangan bahkan memunculkan perdebatan. 

Satu-satunya cara mendapatkan hal yang instan adalah kolaborasi. Persoalannya, kolaborasi tak akan pernah tercipta, saat masing-masing pihak mementingkan egonya sendiri. Karena, untuk kolaborasi perlu saling menutupi kekurangan bukan menguji pendapat siapa yang akan dimenangkan. Kolaborasi bukan soal menang kalah, namun saling membantu saat anggotanya mengalami masalah. Bukan pula saling tuduh, karena  kolaborasi  perlu rasa percaya yang utuh. Tidak pula saling mengesampingkan, karena dengan kolaborasi kita perlu menjaga ritme pekerjaan. Sementara, soal kecepatan dalam menyelesaikan output,  dengan berkolaborasi bisa semakin lama menghasilkan produk, jika perdebatan antar ego dikedepankan. 

Teknologi pun tak banyak membantu saat satu sama lain beradu argumen dengan hasil tak menentu. Kolaborasi perlu dimulai dengan menyatukan pandangan, bukan memperdebatkan soal proses  panjang. Karena, proses akan semakin berat selama masih ada pihak yang berbeda pendapat. Tambah lagi jika masing-masing pihak tidak diberi kepercayaan, bahkan selalu diberi tantangan, maka setiap proses akan ada yang bertumbangan. Saat ide sudah sejalan, tinggal memanfaatkan teknologi mempermudah kita dalam proses panjang, bukan sebaliknya. Karena, saat kemajuan teknologi tidak mampu memberikan kemudahan, tentu kolaborasi itu harus didefinisikan ulang. Karena bagi manusia, hidup bukan sekedar soal capaian, namun mereka juga perlu menjaga keharmonisan keluarga, menjalankan hobi, menikmati wisata, dan upaya lain untuk meningkatkan kualitas diri. 

Akhirnya, percepatan menyelesaikan apapun dengan teknologi dan kolaborasi itu sulit terbangun jika masing-masing pihak mempertahankan idealisme sendiri-sendiri. Tapi kolaborasi mudah sekali dihancurkan saat masing-masing pihak saling tunjuk dan saling memperdebatkan tentang apapun yang menjadi persoalan. 

Sementara dari semua perdebatan yang telah terjadi, ada satu hikmah yang bisa dipetik, jadilah kuat dalam keadaan sendiri. Karena, saat orang  pernah terjebak di tengah badai, ia akan menghargai gerimis kecil yang dilewati. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun