Perubahan Budaya
Tekat perbaikan sebaiknya dilaksanakan menyeluruh, mulai dari struktur organisasi, asset, hingga perangkat organisasi lainnya (Bartlett et al. 2008). Perubahan di lapisan terbawah, tingkat pelaksana saja kurang. Jika hanya ditunjukkan oleh pernyataan Pemerintah Daerah yang merasa bertanggung jawab secara moral, termasuk penetapan Kepala Dinas Perhubungan menjadi tersangka saja tidak cukup. Semua itu penting, tapi tidak efektif jika tidak disertai fisiologi dan mentalitas.
Perubahan fisiologis menyangkut bagaimana struktur organisasi berjalan sebagaimana mestinya. Ketergantungan kinerja dijalankan, bagaimana peraturan ditegakkan. Dewasa ini perjalanan kapal dari pelabuhan sesuai jadwal, boleh dikatakan lancar dan tepat waktu. Namun, perjalanan yang dilakukan salah. Manifestasi penumpang tidak ada, jumlah penumpang melebihi kuota yang ditetapkan, dan masalah lain yang berhubungan dengan keselamatan (kurangnya pelampung, sekoci, dll).
Termasuk mendesak adalah perubahan mentalitas, budaya organisasi, perubahan pada dataran psikologis organisasi pelabuhan di Indonesia. Perubahan ini menyangkut nilai-nilai dan norma-norma perilaku pada setiap individu, mulai dari puncak organisasi hingga pelaksana lapangan, penjual karcis, kapten kapal, hingga perilaku penumpangnya sendiri.
Perubahan budaya haruslah dimulai dari puncak, karena perilakunya lah yang menjadi teladan. Apa yang boleh dilakukan dan apa yang boleh tidak dilakukan dipelajari anak buah dari atasan. Atasan harus menelurkan nilai dan budaya dalam organisasi. Jika berbagai kasus, tataran eksekutif yang mencari untung masih berseliweran, maka pantas pelaksana lapangan meniru dengan mencari keuntungan dengan cara mereka sendiri, meski mengabaikan keselamatan penumpang. Lantas, perubahan apa yang diharapkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H