Mohon tunggu...
Udin Suchaini
Udin Suchaini Mohon Tunggu... Penulis - #BelajarDariDesa

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengendalikan Harga Beras

10 April 2018   18:55 Diperbarui: 10 April 2018   19:18 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pixabay.com

Kenaikan harga beras merupakan permasalahanan kebutuhan pokok masyarakat. Tentu saja bukan sekedar dilihat dari satu sisi. Mulai dari stok, dampak investasi, dan siklus waktu. Namun disisi lain, kebijakan pemerintah dalam pengendalian harga jangan sampai berdampak pada turunnya pendapatan para petani. Pemenuhan pasokan dengan import, dengan mendatangkan beras yang belum ditanam di dalam negeri, potensi persaingan dengan beras lokal memang dapat dikurangi. Namun, cara ini bisa berdampak pada turunnya Nilai Tukar Petani (NTP).

BPS mencatat NTP nasional Maret 2018 sebesar 101,94 atau turun 0,39 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Bahkan sejak bulan November 2017, NTP mengalami penurunan terus menerus hingga 1,13 persen. Penurunan ini mengindikasikan bahwa kemampuan atau tingkat daya beli petani semakin rendah, kesejahteraan petani menurun. Hal ini bisa mempengaruhi lebih dari 14 juta rumah tangga petani terutama penghasil padi (Hasil Sensus Pertanian 2013).

Jika rata-rata harga tertinggi di tingkat eceran mencapai Rp 11.984 sementara harga beras premium di tingkat penggilingan sebesar Rp 9.893 (BRS BPS, 2 April 2018). Ada rumpang 39 persen lebih antara harga di penggilingan hingga terjual ke konsumen akhir. Sementara jika diukur dari harga gabah, akan lebih rumpang lagi. Petani sangat tidak diuntungkan pada kebijakan pengendalian harga beras saat ini, namun disisi lain kebutuhan akan beras dengan harga terjangkau dibutuhkan oleh masyarakat luas.

Kesuksesan pengendalian harga beras memang sudah menjadi salah satu kewajiban Pemerintah yang patut kita apresiasi. Namun, mekanisme pengelolaan produksi gabah pasca panen juga harus dibenahi, mengingat hal ini sudah menjadi masalah klasik yang selalu terulang lagi. Ada 'harga' yang harus dibayar, terlebih jika dikaitkan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan yang didominasi  petani? Petani yang hampir miskin mungkin saja akan ikut tersungkur dan petani yang terlanjur miskin akan semakin terkubur. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun