Mengamati perbandingan harga beras dalam negeri dan tingkat dunia, kita dapat melihat hasil pengendalian harga yang cukup signifikan oleh pemerintah Indonesia. Menurut  data yang berhasil dihimpun Numbeo, harga beras di Indonesia tergolong rendah, berada pada urutan ke-84 dari 92 negara.
Pemerintah dapat dianggap sukses mengendalikan harga beras. Harga rata-rata tertinggi (April 2018), US$ 0,87 atau Rp 11.984 per kg. Rata-rata negara di Asia menjual beras dengan harga di atas US$ 1 atau Rp 13.775 per kg. Jepang menjadi negara dengan harga beras paling mahal di Asia, yaitu US$ 4 atau Rp 55.100 per kg. Meski harga di dalam negeri rendah, namun target Pemerintah swasembada beras di tahun 2017 masih belum tercapai, karena impor beras selalu menjadi pengurai.
Kenaikan harga bahan pokok yang terjadi, terutama beras pada dasarnya masih ada batas toleransi, sekitar 3 persen dalam ranah inflasi. Namun, persepsi masyarakat memberikan kesimpulan negatif. Karena, meski ada batas kewajaran kenaikan, penduduk kelas menengah ke bawah tetap merasakan dampak, sekalipun diimbangi dengan rastra (raskin atau beras miskin yang sekarang beras sejahtera).
Penyebab Kenaikan Harga
Dilihat dari pola permintaan, kenaikan harga terjadi karena beberapa kondisi. Pertama, tekanan permintaan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh pasokan (Demand-Pull Inflation). Kedua, kenaikan harga tanpa peningkatan permintaan (Cost-Pull Inflation). Kejadian ini terjadi ketika upah buruh, ongkos produksi pertanian meningkat, harga gabah dari petani juga meningkat, sehingga menyebabkan kenaikan harga. Ketiga, perubahan struktur perekonomian (Structural Inflation), misalnya perubahan pekerjaan dari pertanian ke non pertanian. Perubahan struktur ini membawa perubahan pola produksi dan permintaan yang menjadi penyebab kenaikan harga.
Disisi lain, secara agregasi, penyebab kenaikan harga lebih banyak disebabkan ekspektasi inflasi, volatilitas nilai tukar, serta outputGap yaitu ketidak seimbangan permintaan dan pasokan. Ekspektasi masyarakat berdampak besar pada stabilitas harga. Kegelisahan warga terhadap kenaikan dasar listrik (TDL), kenaikan BBM, Elpiji, serta komuditas lain yang berdampak luas. Pasar akan menyambutnya dengan negatif. Mau tidak mau, diikuti kenaikan komoditas barang dan jasa lain.
Sementara, volatilitas nilai tukar, berdampak pada meningkatnya iklim investasi. Pembangunan infrastruktur yang tumbuh pesat saat ini mengakibatkan sentimen positif terhadap investasi. Semakin tinggi volatilitas nilai tukar uang akan muncul pasar baru, berdampak pada bertambahnya varietas barang dan jasa yang beredar di masyarakat. Pada kondisi ini, pemerintah melakukan operasi pasar untuk menjaga harga dan pasokan supaya tidak bergejolak.
Operasi pasar (Price Surveillance) salah satu cara pemerintah melindungi masyarakat terhadap perilaku bisnis yang tidak sehat. Di Australia, pemerintah dapat memantau harga komoditas tertentu yang dapat menyebabkan inflasi tinggi. Hal itu tertuang pada Price Surveillance Act 1983, Australian Consumer and Competition Commission (ACCC). Sementara di Indonesia tersedia UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Payung hukumnya jelas: melindungi konsumen.
Sementara, ketidakseimbangan permintaan dan penawaran merupakan penyebab utama kenaikan harga yang dikenal luas oleh masyarakat. Idealnya, penawaran lebih besar dari permintaan. Terjaminnya distribusi ke konsumen akhir juga harus dipastikan. Sektor riil didorong untuk memenuhi permintaan. Kehati-hatian menaikkan produk-produk pemicu inflasi, seperti BBM dan TDL, karena secara psikologis ini bisa menjalar pada peningkatan harga produk barang dan jasa lain.
Di sinilah peran penting pemerintah dalam mengintervensi pasar supaya memperlambat laju inflasi, terutama menahan peningkatan harga beras. Namun, kebijakan ini juga harus memperhatikan siklus waktu. Lebaran, kenaikan sekolah, juga perlu diperhatikan, biasanya kenaikan harga kebutuhan pokok juga meningkat.
Dampak Bagi Petani