Banyak alasan dilangsungkannya perkawinan usia anak. Salah satunya adalah agar terhindar dari fitnah. Misalnya hamil di luar nikah atau agar terhindar dari kekerasan seksual. Hal ini sesuai, apabila melihat muda-mudi yang acapkali tidak mengindahkan norma agama. Kebebasan melampaui batas, bahkan lebih jauh sampai terjadi tindak asusila.
Berdasarkan data dari Publikasi Statistik Potensi Desa 2014, ada 2.050 desa/kelurahan yang menjadi lokasi perkosaan/kejahatan terhadap kesusilaan. Sedangkan jumlah kasus berdasarkan Publikasi Statistik Kriminal 2015, kejadian tindak asusila meningkat pada tahun 2014. Pada tahun 2013 tercatat 4.850 kasus, meningkat pada tahun 2014 menjadi 5.499 kasus. Fakta ini memperlihatkan pada kita semua, bahwa moralitas pemuda di sekitar kita sudah tengah menghawatirkan.
Perkawinan usia anak dapat menimbulkan perkara lain. Bagi perempuan, perkawinan usia yang belum matang tentu sangat menghawatirkan. Berdasarkan penelitian kedokteran, perempuan yang menikah saat alat reproduksi belum berkembang secara sempurna, lebih rentan atau berpotensi terkena kanker serviks. Peluang untuk hamil dan melahirkan anak dengan jumlah banyak selama rentang usia reproduksinya (rata-rata sampai 49 tahun). Mengakibatkan resiko angka kematian ibu meningkat.
Perkawinan usia anak akan menghambat perempuan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan khususnya perempuan. Ini bisa dipahami karena kebanyakan seorang remaja perempuan yang melakukan perkawinan usia anak biasanya tidak melanjutkan sekolahnya.
Fakta membuktikan, bahwa kebanyakan remaja perempuan yang menikah, tidak menyelesaikan pendidikan tingkat dasar. Sekitar 40,5 persen dari seluruh perempuan dengan status menikah. Sehingga, Negara dihadapkan dengan persoalan penduduk berusia potensial namun tidak memiliki kapasitas dan kualitas yang memadai.
Harapan
Tentunya kita ingin melakukan pendewasaan usia perkawinan, untuk mengurangi dampak negatif yang dihasilkan dari perkawinan usia anak. Untuk itu diperlukan adanya konseling bagi remaja yang hendak melakukan perkawinan. Konseling bisa dilakukan oleh tokoh agama, psikolog dan juga orang yang ahli kesehatan terutama kesehatan reproduksi.
Apabila perkawinan dini disebabkan oleh faktor ekonomi karena ketidak mampuan membiayai anak perempuannya sekolah, pemerintah harus mampu memberikan solusi. Jika toh memang benar pendididikan gratis, bagaimana dengan ongkos lain seperti seragam, alat tulis, sepatu, dan biaya transportasi ke sekolah? Tentu saja tidak ada yang gratis. Persoalan ini memerlukan solusi strategis agar anak perempuan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga terbebas dari perkawinan usia anak.
Terlepas dari semua masalah tersebut, perkawinan usia anak merupakan isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut muncul kembali ke permukaan, karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan.
Akhirnya, untuk kemaslahatan kematangan perkawinan dikembalikan kepada diri pribadi masing-masing. Jika menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda perkawinan sampai usia “matang” mengandung banyak nilai positif, maka itu yang lebih diutamakan. Semoga. @suchaini