[caption id="" align="alignnone" width="353" caption="Adat Sasi Pulau Kei"][/caption] Kearifan lokal adalah sebuah budaya daerah setempat yang unik dan hanya terdapat dalam wilayah tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memulainya dan tidak ada pula catatan sejarahnya. Masyarakat setempat mengetahuinya sebagai adat budaya yang turun temurun dan selalu ditaati hingga saat ini. Kearifan lokal menjadi penting karena sifatnya yang ekslusif dan membumi. Seluruh masyarakat setempat mempercayainya, jika ada yang melanggar mereka percaya akan terjadi sesuatu yang menimpanya. Begitu juga di Pulau Kei besar dan Kei Kecil. Kepulauan tempat bercokolnya kabupaten Maluku tenggara ini memiliki adat budaya lokal dengan nama “SASI” dan Maren (gotong royong warga). Adat Sasi Sasi adalah budaya masyarakat setempat Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan Pulau Dullah yang digunakan masyarakat untuk melindungi alam sekitarnya. Berdasarkan informasi warga desa Ngadi, pernah ada Sasi laut yang melarang nelayan dan warga sekitar menangkap ikan di teluk selama 6 bulan. Setelah 6 bulan, masyarakat setempat baru bisa menangkap ikan di teluk tersebut. Ada juga sasi ladang, untuk menjaga tanaman pertanian supaya tetap terjaga sampai masa panen, dalam kurun waktu tertentu baru boleh di panen. Sasi ditandai denganpemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi. Artinya terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan yang termuat pada Sasi, memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat bagi lingkungan. Manfaat dari Sasi Laut misalnya adalah supaya tetap terjaga keberlangsungan hidup ikan di teluk. Sasi ladang membuat membuat hasil panen maksimal, karena belum boleh dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna Sasi mengalami pergeseran seiring dengan gerusan budaya luar dan kepemilikan asset adat (tanah, ladang, atau pulau) yang berpindah kepemilikan. Saat ini Sasi yang muncul di masyarakat seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat oleh pemerintah, maka seluruh anggota marga (keluarga besar) harus menyetujuinya, jika belum ada kesepakatan atau masih ada anggota marga yang belum setuju, maka tanah belum dapat digunakan sampai seluruh anggota marga setuju. Jika tetap dilakukan pembangunan di tanah tersebut, maka anggota marga dapat mengenakan Sasi. Sebagai contoh kasus Suku Dinas pendidikan Kabupaten Maluku Tenggara, saat ini terbengkalai terkena Sasi. Tanah di pulau kei masih banyak yang dimiliki atas nama marga, bukan pribadi. Untuk penggunaan lahan, keluarga pemilik marga tersebut bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam, rumah, bangunan, dan sebagainya. Akan tetapi, anggota marga tidak memiliki hak untuk menjualnya. Jika sampai ada yang menjual, maka keluarga lain dapat mengenakan Sasi. Tanah milik marga yang akan digunakan oleh pihak lain (seperti Pendatang, Marga lain, maupun pemerintah) harus melalui upacara pelepasan tanah. Budaya pelepasan tanah ini biasanya dipimpin oleh raja adat setempat. Tanah marga dijual atas dasar kesepakatan seluruh warga di dalam marga. Pada musyawarah pelepasan tersebut terdapat upacara pelepasan tanah adat. Jika belum ada kesepakatan, maka upacara adat pelepasan tanah tidak dilakukan. Saat ini, kemunculan Sasi akibat kepentingan oknum-oknum seolah mengesampaingkannya dari kearifan lokal, tetapi lebih menjadikan adat Sasi sebagai alat untuk melancarkan apa yang diinginkan. Sasi dari individu-individu yang mengganggu kepentingan umum, semakin hari semakin mengganggu kegiatan masyarakat. Sasi jembatan dan Jalan sehingga masyarakat tidak boleh lewat, Sasi Gedung Pemerintah, sehingga pelayanan pada masyarakat tidak bisa dilakukan di gedung tersebut (contoh Suku Dinas Maluku Tenggara). Kekuatan masyarakat setempat dalam Sasi tertuang dalam budaya gotong royong yang disebut Maren. Budaya Maren Gotong royong merupakan budaya sebagian besar masyarakat seluruh Indonesia, tak terkecuali di Maluku Tenggara dan Kota Tual. Budaya gotong royong di wilayah ini disebut Maren. Maren dilakukan ketika membangun jalan desa, ada keluarga atau tetangga yang membangun rumah, membuat fasilitas umum, dan sebagainya. Masyarakat setempat gotong royong bahu membahu menyelesaikan pekerjaan untuk kepentingan umum. Di beberapa desa, budaya ini ada yang dilakukan secara rutin, satu bulan sekali bersih desa dalam satu Ohoi. Ohoi adalah sebutan lingkungan yang dipimpin oleh raja adat. Maren dilakukan di dalam desa, dusun, dan Ohoi. 3 Kasta Warga Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan Dullah yang terkenal dengan watak keras, terbagi pada 3 kasta. Kasta tertinggi disebut Mel Mel, kasta tengah disebut Ren, dan kasta bawah disebut Riri. Sampai saat ini, pembagian kasta masih ada. Dampaknya, apabila kasta riri dan Ren menjadi pejabat, banyak yang tidak menghargainya. Menurut informasi masyarakat setempat kasta terendah tidak akan pernah bisa naik tingkat menjadi Ren, maupun Mel Mel. Status Pemerintahan Desa/Kelurahan hanya sebatas administrasi pemerintahan saja, dianggap tidak memiliki berwenang menanngani masalah adat. Desa atau disebut Ohoi memiliki batas kewenangan setingkat administrasi desa, sedangkan raja memiliki kewenanngan atas beberapa desa. Jika masalah adat tidak mampu ditangani raja, maka naik ke atas yaitu Pati. Konflik antar adat dan pemerintah memang kerap muncul. Masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat, memaksa pemerintah untuk fleksibel dalam menangani berbagai konflik yang bergesekan langsung dengan masyarakat. Secara umum masyarakat pulau kei berwatak keras, tetapi berhati mulia. Selama tidak mengganggu kepentingan mereka yang utama yaitu Wanita dan Tanah, pendatang tetap diterima dengan baik. Mungkin tepat dengan kata mutiara “di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung”. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H