[caption id="attachment_346231" align="aligncenter" width="576" caption="Screenshot Tayangan 360 MetroTv 3 Juli 2014, Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia 2013"][/caption]
Melihat tayangan 360 di metrotv, 3 Juli 2014 tentang "Kebahagiaan = materi?". Pada intro tayangan tersebut dibacakan kesimpulan sementara oleh Najwa yang selanjutnya diuraikan dengan menelusuri pendapat masyarakat dan ahli terkait kebahagiaan. Intro yang disajikan adalah:
"Sebuah indeks kebahagiaan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik ini menuai banyak kontroversi. Pasalnya, indeks ini menilai masyarakat Indonesia termasuk kategori cukup bahagia yang diukur berdasarkan pendapatan. Benarkah tolak ukur kebahagiaan seseorang di tanah ini adalah materi?"
Pernyataan tersebut saya anggap tidak sepenuhnya benar, karena dalam mengukur nilai Indeks Kebahagiaan yang dilakukan oleh BPS merupakan hasil komposit dari 10 domain kehidupan yang esensial. Pendapatan hanya salah satu komponennya saja. Lihat tulisan saya sebelumnya mengenai "Mengukur Tingkat Kebahagiaan".
Nilai Indeks Kebahagiaan yang diulas oleh tayangan 360 Metro TV menitik beratkan pada dua dimensi pembentuk indeks yang berupa materi, yaitu Pendapatan dan Aset, sedangkan 8 domain kehidupan lain yang bersifat subjektif sebagai pembentuk Indeks Kebahagiaan sama sekali tidak diulas.
Hasil dari pengukuran indeks kebahagiaan tahun 2013 salah satunya adalah ternyata sebagian masyarakat Indonesia masih menilai kebahagiaan dari sisi materi, karena kontribusi dari materi (dalam hal ini Pendapatan dan Aset rumah tangga) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mengukur kepuasan seseorang terhadap capaiannya dari sisi materi. Selengkapnya dapat dilihat pada Berita Resmi Statistik BPS bulan Juni 2014.
Menurut peneliti UGM mengungkapkan Kebahagiaan yang dirilis oleh BPS tidak serta merta menggambarkan kesejahteraan masyarakat. BPS tidak mengikut sertakan konsep keadilan, seperti keterjangkauan masyarakat dengan pendidikan dasar, keterlayanan masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan dasar, dll. Perlu diketahui, data yang digunakan untuk menghitung indeks kebahagiaan merupakan data individu, sedangkan keterjangkauan terhadap akses kebutuhan dasar merupakan data kewilayahan. Data individu dan data kewilayahan tidak diperoleh secara bersamaan. Kolaborasi antara kedua jenis data tersebut bagus untuk menggambarkan kondisi individu masyarakat dengan lingkungannya. Memang dalam pemerintahan, setiap data yang dipublikasikan harus dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan, termasuk indeks kebahagiaan yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa orang melihat kebahagiaan bukan dari sisi materi, ada betulnya juga selama kebutuhan dasarnya terpenuhi.Psikolog UI Dieni Cokro Suprihartono, teori Maslow kebahagiaan tertinggi non material, tetapi yang paling bawah adalah material. Jika memang sebagian besar kebahagiaan penduduk Indonesia masih melihat materi sebagai bahan pertimbangan penentu kebahagiaannya, maka kita masih dalam tataran kebahagiaan paling dasar.
Menuai Kontroversi
Indeks Kebahagiaan memang belum ada patokan yang pasti, masih banyak perdebatan di dalamnya. Masing-masing Negara melakukan penilaian dengan cara yang berbeda-beda. Bhutan sebagai leader dalam mengukur kebahagiaan, mengukur dengan pendekatan psikologi. Negara-negara OECD membangun Better Life Index dengan mengukur 11 domain kehidupan. Negara-negara lain juga masih melakukan pengembangan, seperti Happy Planet Index yang disusun oleh NEF.
Indeks Kebahagiaan yang disusun oleh BPS digunakan sebagai pelengkap ukuran kesejahteraan lain yang sudah ada. Bukan digunakan untuk mengganti ukuran kesejahteraan yang sudah ada. Pengukuran yang dilakukan pada Indeks Kebahagiaan adalah ukuran subjektif masyarakat, sedangkan ukuran objektifnya sudah diukur menggunakan ukuran lain.
Materi hanya semata-mata bagian dasar yang harus dipenuhi orang dalam hidup. Orang yang bahagia adalah orang yang minimal mampu memenuhi memenuhi kebutuhan hidupnya, jika orang yang sama sekali tidak memiliki materi dan mengatakan bahagia, itulah yang dinamakan sikap “pasrah” atau “nrimo ing pandum”. Sikap inilah yang hanya ada di kehidupan bangsa melayu, dan tidak ada di kamus kebahagiaan yang sedang dikembangkan selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H