Entahlah mengapa ...
Kegerahan selalu hadir setiap hari
Bila hanya karena panas teriknya mentari
Bukankah itu hal yang lumrah?
Bukankah itu sudah biasa?
Bagi kita yang hidup di negeri ini ...
Panas teriknya mentari sepanjang hari adalah energi
Yang menggerakkan kehidupan negeri ini
Hingga termasyhur sebagai negeri seribu pulau
Yang berbalutkan gemah ripah loh jinawi
Namun, saat ini?
Sang mentari mulai tak peduli lagi
Diakui ataupun tidak sebagai sumber energi
Dia sudah tak peduli
Kegerahan pun kian terasa, kian menjadi-jadi
Lantaran pancaran bara api
Seperti enggan untuk berhenti
Saksikanlah mereka, di antara kita pula!
Adab bicara tak lagi dijunjung tinggi
Mencaci  dan memaki telah jadi tradisi
Apalagi yang bertaburkan dengki bersulam benci
Nalar sehat pun seolah mati
Berganti kepicikan tiada kendali
Bumi yang memanas
Mengunjukkan pertikaian
Memuncak pada perang antar sesama
Katak bersahutan-sahutan
Percikkan hasutan menjijikkan
Membelah angkasa, hembuskan bisikan dan nyanyian
Menggetar dalam rambatan gelombang suara setan
Hadirkan bencana membahana ke sepenjuru dunia
Kemarau yang menghunjam tajam
Keringkan suasana hati dan pikiran
Bagai penghantar langkah menuju kehidupan jahanam
Begitulah, dan ... benarkah?
*****
Kota Malang, November di hari ketujuh belas, Dua Ribu Dua Puluh Empat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H