Di sela-sela tumpukan barang usang yang bercampur baur, di sudut ruang gudang, saat suasana hati memuncak gairah untuk berbenah-benah, kutemukan selembar kertas lusuh bertulisan tinta biru yang agak pudar. Dan, entah kenapa terbit hasrat kuatku untuk membacanya, rasa penasaran mengalir deras untuk segera mengetahui apa isi goresan yang tertuang di dalamnya.
Kasih, tambatan hati di kala suka dan duka ...
Kucoba menulis surat ini kepadamu, kala rasa kangen ini sudah tak tertahankan lagi. Namun apa daya dan hendak dikata, lantaran jarak yang tak memungkinkan kita untuk segera bersua dalam melampiaskan rasa kangen teramat berat ini.
Aku menyadari dengan sepenuh hati, bila engkau sedang berjuang untuk merampungkan studi, dan akupun sedang berjuang untuk mengais rejeki demi masa depan kita berdua, mewujudkan biduk kasih yang pernah kita canangkan. Mahligai rumah tangga dalam satu ikatan tali suci beralaskan kesetiaan. Dan, betapa kesetiaan itu mahal, teramat mahal bukan?
Singkat saja kutulis surat ini tertuju kepadamu, hanya sekedar melepas rasa kangenku kepadamu yang memuncak dan merambah di segenap jiwa ragaku.Â
Di kaki gunung Semeru, November di hari kesebelas, Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh.
Dari kekasihmu nun jauh di sana.
Oh, ternyata selembar surat cinta puluhan tahun yang lalu, masih tersimpan oleh sang belahan jiwa. Hanya, saat ini terdampar di tumpukan barang usang yang bercampur baur di gudang. Puji Tuhan, Alhamdulillah, komitmen betapa kesetiaan itu mahal, teramat mahal masih terjaga dan terpelihara hingga usia sudah tak muda lagi ....
*****
Kota Malang, Juli di hari kedua puluh tujuh, Dua Ribu Dua Puluh Empat.