Tak usalah dipungkiri dan memainkan sebuah basa-basi
Dalam tampilan wedang kopi yang tersaji diseruput dan dinikmati
Di rumah, kedai kopi, pos jaga kamling kampung, kafe resto, ruang rapat mapun kesempatan sebuah seminar dan diskusi
Bila seruputan wedang kopi kita ini adalah pantulan sebuah fenomena menggejala
Nasib antara petani kopi dan juragan bandar yang senjang nan timpang
Timpang rusaknya alam yang melingkup karena kerakusan dan keserakahan
Dalam balutan nafsu yang membabi buta
Terasa begitu pahit manakala menyaksikan mereka yang bergulat di kebun kopi
Yang tak beranjak dalam kesehariannya sebagai subsisten
Ketimbang berdaya tawar menghadapi segelintir orang
Dengan sindikasi korporasi yang kian menggurita
Sementara, kita tinggal menikmati seduhan dalam cangkir gelas dan poci
Terasa begitu manisnya bila pantulan dari industri, kafe resto kokoh nan megah
Mendulang manisnya keuntungan dalam memainkan komoditi kopi
Di atas peluh buruh dan petani kopi
Seruputan wedang kopi kita saban hari marilah dimaknai
Dalam untaian ruh pohon kopi, petani, konservasi dan alam semesta
Sebagai kreasi absolut dari Sang Ilahi
Yang harus kita jaga pelihara keseimbangannya dari hulu hilir hinga muara
Karena begitulah yang diamanahkan-Nya kepada kita manusia
Jangan ada penghisapan penyeruputan antar sesama
Jangan ada keuntungan di atas kebuntungan
Bagai petani kopi yang diseruput oleh raksasa korporasi
Hanya tinggal menelan harapan dari nyanyian janji
Dilantunkan oleh mereka bersama punggawa sindikasinya
Yang dirancangbangun oleh segelintir orang-orang
Yang bertengger  di puncak menara gading ...
*****
Kota Malang, Februari di hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Empat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H