"Ya, lebih baik golput saja! Lho, kenapa? Memang tak boleh? Atau, suatu sikap nista pidana bagi seorang warga yang lebih berkecenderungan memilih golput daripada berpartisan manakala berhadapan dengan pilihan politik?"
Sebuah kutipan bernada tanya untuk dijawab tegas dari seseorang yang secara terbuka menyatakan dirinya sebagai golput dalam Pemilu. Pertanyaan itu tersadap, ketika saya sedang ngopi di sebuah kedai, sembari menunggu redanya hujan lebat yang mengguyur seluruh wilayah kota.
Pemilu 2024 usai digelar, dan hingga saat ini sudah bergulir 13 hari dihitung sejak 14 Februari 2024. Tinggal menunggu penetapan hasil resmi dari KPU yang kabarnya bakal diumumkan pada 20 Maret 2024 (kira-kira 10 hari dari Puasa Ramadhan bagi pemeluk Islam).Â
Meskipun isyarat dari versi Quick Count telah memberi sinyal bahwa dalam hal Pilpres adalah pasangan Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming Raka hampir dipastikan sebagai pemenangnya, namun tidaklah begitu bagi 2 pasangan yang "kalah" terhadap sinyal dari Quick Count tersebut. Mengapa?
Boleh jadi masih belum percaya atas kekalahannya, belum siap kalah dalam sebuah "pertarungan", atau ambisi untuk merebut tampuk kekuasaan di republik negeri ini jadi terganjal. Kira-kira demikian.
Memang, agak lucu kedengarannya. Quick Count yang telah teruji di beberapa Pemilu sebelumnya, termasuk dalam Pemilu Pilkada, kali ini dipersoalkan oleh kubu paslon yang "dikalahkan" dari hasil Quick Count.
Hiruk pikuk dan kegaduhan pun dimunculkan yang skala dan cakupannya sebatas dari lingkaran elit politik kubu paslon yang kalah, dan kalahnya boleh dibilang telak.
Mulai dari bernarasi tentang "kecurangan", petisi ketidakpercayaan terhadap Pemilu 2024, pernyataan sikap keprihatinan terhadap jalannya demokrasi di negeri ini, hingga aksi demonstrasi, menggugat dan menolak hasil Pemilu, dan lain sebagainya. Dimana mencoba dengan cara menggerakkan sebagian dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan sebagian masyarakat kebanyakan hingga parlemen agar terkesan masif.
Alih-alih menjadi gerakan yang masif seperti mengulang peristiwa sejarah 1998 dalam rangka menggulingkan rezim Orba, justru yang terjadi di lapangan adalah reaksi bagi para kebanyakan yang menjadikannya sebagai bahan tertawa.
Artinya, ternyata segelintir elit politik (yang kalah dalam pertarungan di Pemilu 2024) bila dibandingkan dengan populasi penduduk negeri ini, utamanya yang mempunyai Hak Pilih dalam Pemilu yang tercatat kurang lebih 200 juta-an (itupun bila 100 persen berprtisipasi dalam coblosan), semakin nampak sikap perilakunya dalam berpolitik yang begitu naif. Dan, justru sang kebanyakanlah yang lebih dewasa dalam bersikap menghadapi fenomena kehidupan politik di negeri ini. Benarkah?
Setidak-tidaknya, tingkat partisipasi pemilih yang kali ini menunjukkan trend meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2019, dan ditambah dengan terciptanya suasana dari pra dan pasca Pemilu yang kondusif berbalutkan rasa riang gembira, adalah indikator yang menunjukkan bahwa sang kebanyakan sudah dewasa dalam menghadapi persoalan politik di negeri ini.